12 | Be A Good Manager

32 13 15
                                    

Sepertinya aku memang tidak cocok menjadi manajer basket. Seharusnya aku tidak perlu memaksakan diri sampai seperti ini. Aku harap kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Setelah selesai berlatih, aku harus minta maaf kepada mereka semua. Harus!

Begitu mereka semua selesai berlatih, aku berjalan ke depan mereka lalu membungkuk 90 derajat. "Maaf!"

"Fhea, ada apa? Kenapa kau minta maaf?" Suara Kak Joan terdengar.

Masih dalam posisi membungkuk aku berucap, "Maaf karena aku tidak bisa menjadi manajer yang baik hari ini, maaf karena aku merepotkan kalian semua, maaf aku orangnya lamban dan tidak waspada, maaf karena aku masih kurang tegas, maaf karena aku tidak dapat membantu kalian, maaf karena aku mengecewakan kalian!"

Desas-desus memenuhi lapangan, suara Kak Joan kembali berseru. "Kata siapa kau tidak membantu kami? Buktinya tadi kau membantu Aldi, membantuku mengkordinir mereka saat aku tidak ada. Lagipula ini hari pertamamu, tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Sekarang angkat kepalamu!"

Aku mengangkat kepalaku perlahan. Namun mataku tetap melihat ke arah tanah, tak sanggup menatap wajah mereka satu persatu. Pasti mereka kesal padaku. Bayangan peristiwa saat kakak kelas memarahiku, saat 2 anak lelaki tampak tersinggung dengan ucapanku, dan saat Rei menatap tajam terputar jelas di dalam kepala.

"Hei dek." Sebuah tangan terulur. "Maaf tadi kami membentakmu, itu memang salah kami. Seharusnya kami tidak seperti itu. Jadi jangan merasa tidak enak untuk kesalahan yang diperbuat oleh orang lain."

Kakak kelas berbadan besar tadi mengulurkan tangannya ke arahku diikuti 2 orang di belakang. Ragu-ragu aku membalas ulurannya dan berusaha tersenyum. "Baik kak, terimakasih."

"Hei, kami juga ... mau minta maaf." 2 orang cowok maju menghampiriku, mereka yang kutegur tadi karena bercanda saat latihan.

"Nah sekarang masalahnya sudah beres kan! Lain kali kalau ada apa-apa bilang aja, saling terbuka. Kalau mereka bandel, bilang ke aku aja Fhea, nanti kuhukum!" Kak Joan berseru tegas.

"Jangan, kalau kita ga nurut Fhea langsung marahin aja, hukum kita aja kalau perlu. Ga usah takut. Daripada lama-lama bilang ke Kak Joan dulu," usul salah seorang cowok.

"Yeee ... itu mah kamu yang takut dihukum sama Kak Joan makanya milih dihukum Fhea!"

Mereka kembali tertawa. Mau tak mau aku ikut tersenyum bersama mereka. "Terimakasih berkat kalian semua. Saya harap ke depannya kita bisa lebih dekat dan kompak lagi. Mo-mohon bantuannya yaa!"

Mereka tertawa melihatku tergagap tadi. "Sudah pasti dong!" seru si kakak kelas berbadan besar.

Sore itu kami tertawa bersama di bawah langit jingga. Perasaan mengganjal di hatiku berganti dengan kegembiraan berkat keberanian dan kejujuranku sore itu. Momentum ini, akan menjadi salah satu kenangan yang berharga dalam hidupku.

***

Setelah berbincang bersama sembari meluruskan kesalahpahaman, kami pulang ke rumah masing-masing. Aku, Zean, Rei, dan Aldi berjalan bersama ke halte bus seperti kemarin. Lagi-lagi Zean memilih duduk bersamaku. Tak tahukah dia betapa sulitnya mengontrol detak jantungku?

Kami duduk dalam keheningan, larut dalam pikiran masing-masing. Sejujurnya aku masih merasa tidak enak dengan Rei, ia bahkan tidak berucap sepatah katapun sejak insiden Aldi jatuh tadi.

"Hari ini, hari yang melelahkan ya," ucap Zean.

Aku mengangguk, "Tapi cukup menyenangkan."

"Wah kau baru saja tersenyum Fhea!"

Aku gelagapan dan segera menutup mukaku dengan tangan. "E-emang kenapa? Menurut tadi memang seru kok!"

Zean tertawa di sampingku, "Wah-wah, kau malu yaaa ...."

"Tapi yang kau lakukan tadi itu keren loh!"

Aku meliriknya. Apa aku tidak salah dengar? Tadi Zean baru saja memujiku keren?!

"Kau berani meminta maaf dan mengakui kesalahanmu di depan kami semua. Menurutku itu keren, para anggota klub basket juga jadi tampak nyaman karena tadi kita semua terbuka."

Tanpa sadar aku tersenyum. Dalam hati, aku sangat lega dan bersyukur mendengar hal itu. Untung tadi aku memberikan diri untuk mengatakannya.

"Walau meminta maaf dan mengakui kesalahan di depan semua orang merupakan hal sepele, tapi zaman sekarang orang-orang sulit melakukan hal itu karena kalah oleh ego mereka. Aku bersyukur karena yang menjadi manajer kami itu kau."

Jantungku berdebar lagi. Perkataan Zean tadi membuat perutku dipenuhi kupu-kupu berterbangan, bagai terbang ke angkasa langit. Aku sangat senang mendengarnya. Segala pikiran buruk menghilang dari kepalaku. Ternyata pilihanku untuk mendaftar menjadi manajer basket tidak salah.

"Maaf ya tadi aku sempat menegurmu karena tidak tegas, dan yang lain tidak nurut padamu saat awal, mereka suka seenaknya."

"Tidak apa-apa, sekarang aku sudah tidak mempedulikan hal itu. Yang penting masalahnya sekarang sudah kelar."

Diam-diam aku melirik ke Rei yang duduk di belakang. Sebenarnya walau masalah ini sudah selesai, aku merasa tidak enak dengan Rei yang masih belum mengajakku bicara sedari tadi.

"Emm ... anu, aku mau tanya. Apa kau dan Rei teman dekat?"

"Iya, kami teman dekat sejak SMP. Ada apa?"

"Aku hanya merasa tidak enak kepada Rei. Sepertinya ia masih kesal padaku."

"Aahh ... apa kau membicarakan soal insiden Aldi tadi? Tidak perlu dipedulikan. Dia memang orangnya galak dan ketus tapi sebenarnya baik kok. Sepertinya ia membentakmu tadi juga tidak bermaksud menakutimu, apalagi saat itu Aldi terluka, ia pasti panik dan kehilangan kontrol emosi. Dan mungkin gengsi untuk minta maaf padamu. Apa aku harus berbicara dengannya?"

"Ah tidak usah, tidak apa-apa. Aku akan berbicara padanya besok."

Zean mengangguk, dan tersenyum ke arahku. "Syukurlah kami tidak salah memilihmu."

Wajahku memanas dan debaran jantungku kembali menggila. Aku segera memalingkan wajahku ke arah jendela guna menutupi wajahku yang mungkin saja sudah semerah tomat. Aku menatap Grey yang sedang terbang di samping bus, "Grey tolong bawa aku pulang secepatnya," bisikku.

Tak lama, bus sampai ke depan jalan gang rumahku. Aku pamit dan segera berlari ke rumah dengan hati yang berbunga-bunga. Tak sabar untuk segera menceritakannya kepada mereka. Aku akan menyombongkan hal ini sampai mereka bosan mendengarnya!

Seperti yang kuduga, Kayla, Rara, Cici dan Arya menyambutku di depan rumah dengan tatapan penuh penasaran. Dengan segera aku menceritakan semuanya kepada mereka dari awal hingga akhir.

Malam itu aku tidak menghabiskan waktuku untuk belajar seperti biasa, namun sibuk berceloteh kepada mereka sampai kantuk membawaku pergi ke alam mimpi.

🌙🌙🌙

Haii akhirnya masalah Fhea selesai! Xixixi tapi ini mah belum ada apa-apanya sama masalah yang sedang menunggunya di depan 👀

Oh iya semoga kalian terhibur dengan Chapter kali ini juga yaa!

Jangan lupa vote dan comment untuk mendukung Fhea, agar ia semakin semangat dalam menjalankan tugasnya :D

See you in next chapt!

- 🌙✨

Moonlight StealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang