27 | Warm Night

33 9 1
                                    

Udara malam yang dingin menyibak dari balik gorden jendela. Menggores lembut kulit sawo matangku. Kedua mata masih terbuka sempurna, menatap kamar hampa sembari melirik ibu sesekali, memastikannya masih terlelap dalam buaian mimpi.

Kira-kira apakah rencana ini akan berjalan lancar?

"Fhea ...."

"Iya Bu?"

Ibu tersenyum tipis dari balik helain rambutnya yang mulai beruban. Rasa canggung nan mengganjal tak kunjung melipir dari hati.

"Apa kau masih ingat? Dulu sebelum ibu kerja jadi TKW di Singapura, ibu selalu membacakanmu dongeng ini sebelum tidur."

Mataku jatuh ke sebuah buku usang bersampul biru tua yang berdebu dengan tulisan bersambung warna emas di pangkuan ibu. Ada rasa sakit yang merayap dari dalam, terasa ganjil untuk beberapa alasan yang masih belum bisa dipastikan.

"Iya Bu, ingat." Aku berusaha mengulas senyum.

"Ibu masih ingat, dulu kamu akan berteriak-teriak meminta Dewi turun ke bumi karena banyak hal yang ingin kamu minta hahaha ...." Ibu mengakhirinya dengan tawa lembut.

Aku ikut tertawa, "Ya, dan Ibu menyuruhku untuk terus berdoa agar Tuhan mendengar doaku dan menurunkan Dewi."

"Dari dulu Ibu selalu penasaran, apa permintaanmu?"

Aku menatap ibu, sedikit gelisah. "Permintaanku?"

Ibu mengangguk, membelai pucuk kepalaku. Menatap ke dalam mataku seakan bisa melihat semua rahasia yang telah kusimpan rapat-rapat. "Kau pasti punya banyak permintaan selama Ibu bekerja di Singapura. Ibu selalu merasa bersalah sangat mengingat tidak dapat menemani kamu seharian saat kecil."

Aku mengalihkan pandangan dari Ibu. Dadaku terasa berat setiap kali mengigat masa-masa itu. Saat di mana kamu tidak bisa mengandalkan hidupmu pada siapapun selain dirimu sendiri.

"Duh bagaimana ya ... aku sudah lupa Bu." Dan aku memilih untuk menyimpannya rapat-rapat.

Rasa hangat menelisik masuk selama kami bertukar obrolan sekedar basa-basi. Kasur kecil yang hanya muat untuk diriku sendiri tidak lagi terasa sempit saat ibu ikut tidur di sini. Hanya perasaan nyaman dan hangat. Seperti seharunya yang anak rasakan saat bersama Ibu.

Malam itu aku tetap tidak bisa tidur. Ibu sudah terlelap kembali dalam mimpinya setelah puas berceloteh. Aku menatap hampa ke luar jendela. Tak bisa menyembunyikan perasaan gelisah setiap mengigat gerombolan hewan aneh itu yang tiba-tiba datang memutar balik kehidupanku 180 derajat, hingga berhasil melangkah keluar dari zona nyaman setelah semua masalah yang berhasil kulalui.

Kuakui, aku cukup bangga pada bagaimana diriku berkembang secepat ini. Namun segala jenis pikiran buruk tak henti menyelinap masuk. Kira-kira setelah ini, akan ada masalah apa lagi? Apa aku masih mempunyai kemampuan untuk menghadapinya?

Di tengah lamunan, bulu hitam terbang di gelap malam. Di bawah remang-remang lampu teras. Aku beranjak dari kasur dan segera menghampiri jendela.

Grey! Apa ia datang membawa kabar?

Sebelum aku membukakan jendela, ia terbang menghilang. Kebingungan, aku pergi ke teras untuk mengeceknya. Tak lama sayap hitam itu terlihat lagi. Terbang berayun dengan tenang dan mendarat tepat di hadapanku dalam wujud manusia. Di bawah guyuran sinar rembulan, lekuk wajahnya dapat terlihat dengan jelas.

Mata sekelam malam, selaras dengan rambut hitamnya. Rahangnya yang kokoh dipadukan dengan matanya yang menyorot tajam mampu membuat semua orang yang melihatnya menciut bagai tikus di depan beruang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Moonlight StealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang