Prolog

2.8K 136 17
                                    

Ada kaca-kaca tipis yang membalut netra cokelatnya sedari tadi. Ada tumpuk-tumpuk ketidakpercayaan saat pengang telinganya dihantam suara-suara mengerikan yang terdengar menjijikan kala menggerayangi indera pendengarannya sedari tadi. Ada ribuan penyesalan, yang menyergap relung jiwanya saat racau-racau kacau itu lagi-lagi berkelebat di dalam kepala, menyusup masuk hingga membuka kode akses rahasia menuju kotak memoar yang ia punya. Godam-godam raksasa itu semakin kuat masuk dan merasuk ke dalam jiwa, kala hentak-hentak pedih menyayat hatinya semakin parah, semakin hebat. Kuncup-kuncup harap tiba-tiba tak kuasa lagi ia hirup, kala senandung kidung menghalo-halokan kegelapan pada lorong masa depan yang menyimpan ribuan cita-cita juga harapan yang dijaminnya kandas dalam hitungan waktu.

Jejak-jejak kotor itu masih bisa ia lihat dengan begitu jelas. Membekas dan meninggalkan tilas pada beberapa sisi tubuhnya yang terpatut di depan cermin rias. Mendesak gugu tangis yang mati-matian ia tahan dan sekat untuk keluar, memberikan perintah kepada air mata yang tergenang di pelupuk mata agar ikut meluncur dengan jelas.

Perih itu kian terlihat jelas. Ketakutan-ketakutan serta kekhawatiran membayangi matanya yang ditusuk ketidakpercayaan atas segala hal yang telah diperbuatnya. Napasnya sesak tercekik kemungkinan. Kepalanya berdentum dipukul kenyataan. Jika apa yang dijaganya telah hilang tanpa pernah ia duga pada waktu-waktu sebelumnya.

Renggang-renggang jarak terajut semakin jauh. Membentangi ia serta manusia berusia lima tahun di atasnya yang betah duduk memaku di tepian ranjang, tempat segala dosanya terjadi berjam-jam lepas. Gumul-gumul pekat menghiasi temaram wajah mereka yang terlihat kuyu dan kalut. Benderangnya lampu kamar yang mereka singgahi, belum bisa menerbitkan sinar pada wajah-wajah yang telah kehilangan seri.

Pacu-pacu napas yang mereka punya berderu pelan, lamban, dan tenang. Kosong tatap mata yang keduanya punya melukiskan segala hal yang tak lagi bisa mereka pegang, meluluhlantahkan pondasi-pondasi kepercayaan yang lama mereka rengkuhkan. Degup jantung yang bersembunyi di balik dada itu sudah berusaha menyamai irama napas yang mulai legawa, namun selalu digagalkan oleh desir sesal yang menyusuri aliran darah pada tiap dari mereka yang masih betah berdiam di posisi semula.

Tanpa kata, tanpa rasa.

"Yessica..."

Dia—Vito Lakeswara Madaharsa, pada akhirnya membuka suara. Menatap punggung perempuan yang saat ini langsung menundukkan kepala, menyembunyikan air mata yang turun tanpa aba-aba. Entah untuk keberapa kalinya.

"Saya minta maaf" Vito putar pandangannya kembali ke arah depan. Menatap tembok seputih pualam di hadapannya yang andai kata mampu berbicara, sudah pasti akan mencaci makinya untuk kata maaf yang baru saja ia ikrarkan kepada anak perempuan yang ayahnya jaga mati-matian. "Saya—akan tanggung jawab"

"Saya punya kekasih"

Larut dalam diamnya yang telah berlangsung lama, dia—Yessica Tamara Cantigi, pada akhirnya turut bersuara. Parau suaranya tak bisa ia tutup-tutupi, isakannya bahkan masih bisa Vito rasakan kendati penuh sendat dan cekat. "Dan dia adik Anda. Anda tidak hanya membuat hubungan kita menjadi rumit, tapi juga antara Bapak dan dia sendiri"

Mulut Vito tiba-tiba terdiam. Kecap-kecap tipis yang sejak tadi ia jadikan sarana merangkai kata juga semua permintaan maaf langsung berhenti, berganti dengan bungkam yang tak pernah kuasa ia ucapkan lagi.

"Saya bisa bicara dengan Amir—dia mungkin akan paham" Vito kembali memutar kepala. Menatap mahasiswinya yang masih betah bergemul dengan air mata. "Saya akan menikahi kamu, Chika."

Ada debar-debar keterkejutan, hingga membuat kepala itu tertoleh ke arah belakang. Menatap Vito sepersekian detik, kemudian menggelengkan kepala. "Saya enggak mencintai kamu"

"Chika."

"Vito, kalau ini cara kamu untuk mendapatkan saya, saya enggak suka"

Perempuan itu langsung berdiri. Mengambil tas yang dilempar oleh Vito secara sembarang di lantai tempat selimut serta pakaian pria tersebut berceceran, melangkahkan kaki hingga berniat ingkah. Sebelum pergelangan tangannya ditahan, dipaksa menindihkan iris mata mereka untuk kesekian kalinya lagi.

"Kamu boleh enggak mencintai saya, tapi saya harap, ketika dia benar-benar ada—kamu beri tahu saya, Chika"

...

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now