Bab 27. Nobody Else

705 103 148
                                    

Kalau sayang yesika, harusnya tahu mana yang disimpan buat pribadi dan lingkungan sefrekuensi dan mana yang boleh diumbar di khalayak.
Kalau udah enggak tahu tempat, perlu ditanyakan itu beneran sayang sama Yessica atau sekadar tertarik sama konten haram yang harusnya bisa disikapi biasa aja :)
...

Beberapa luka terlihat semakin kuat mengisi kekosongan pada palung hatinya yang dirayapi sepi setelah satu per satu sanak famili memutuskan pergi, menyisakan ruang-ruang tak berpenghuni pada sudut-sudut rumah mendiang kakaknya yang tak lagi berpenghuni setelah ini—setelah Vito beserta Juwita dan suami memutuskan untuk serta kembali. Dengkang-dengkak katak terdengar nyaring bersahutan dari kolam samping rumah, yang letaknya tak jauh dari kebun paprika yang Anin tanam sewaktu hidup. Krik jangkrik sesekali menimpali nyanyian katak yang teramat padu, menambah melodi-melodi penuh harmoni untuk merayakan kesedihan yang tengah Vito alami.

Satu hari, dua hari, tiga hari, dan luka-luka itu masih kuat bersemayam di sepanjang aliran nadi. Mencecik lehernya tanpa kata permisi, mengeringkan aliran-aliran darah di sepanjang saraf kepemilikannya. Vito seperti mati dalam kungkungan nestapa yang terus saja hadir tanpa memberi jeda—tanpa memberinya kesempatan untuk sekadar menerima jika satu per satu yang dijaganya telah tiada. Dia seperti ditenggelamkan oleh ribuan luka, dijerembabkan ke dalam Mariana duka yang menghancurkan, dan tenggelam pada Kaspia air mata yang tak ia temukan tepinya di mana-mana—semuanya seperti tak memiliki akhir.

Vito merasakan kekosongan itu semakin menjadi-jadi, saat malam-malam yang biasa ia habiskan dengan mendengar nasihat dari Anin melalui sambungan telepon itu tak lagi bisa ia dengarkan dengan telinga yang terbuka lebar—tidak ada sapa, tidak ada omelan, tidak ada kehadiran. Sekitarnya jadi terasa kosong karena eksistensi kakaknya tak lagi bisa ia temukan pada sudut-sudut tertentu yang katanya adalah tempat favorit Anin semasa hidup—kebun paprika, taman anggrek, dapur, ruang televisi, serta ayunan yang saat ini menjadi tempatnya terduduk merawat kehilangan.

Katakanlah Vito berlebihan dalam menyikapi perpisahan, tapi sungguh, siapa juga yang bisa menerima perpisahan sekaligus perngkhianatan di waktu yang bersamaan?

"Vito, enggak masuk?"

Kelopak matanya terbuka, menemukan Shani yang berdiri di ambang pintu dapur seorang diri. Wanita itu—bersama Vino dan putranya tentu saja—memang baru akan kembali esok hari. "Iya, Ci. Nanti—masuk, kok."

"Udah malem, Vit. Nanti masuk angin. Belum—makan juga 'kan?"

Vito sedikit menggeser tubuhnya saat tahu perempuan yang telah dianggapnya kakak sendiri itu berjalan mendekat ke arahnya. Membantu perempuan itu duduk di ayunan sebelahnya. "Ci Shani harusnya enggak usah keluar. Udara malam enggak sehat buat Ci Shani"

"Buat semua orang" Shani mengulaskan senyum, "Masuk, ya? Makan malam dulu. Perutmu harus diisi, Dik."

"Hu'um" Vito mengangguk, "Nanti saya isi kalau udah lapar."

"Vito..."

Vito menghembuskan napasnya. Menjatuhkan kepalanya kemudian menggeleng perlahan. "Saya—belum bisa, Ci. Ini—kaya terlalu tiba-tiba buat saya. Semuanya Tuhan ambil secara bersama-sama. Mbak Anin, Mas Boby, bahkan—istri saya sendiri. I've lost some part of my life. Lalu—saya harus gimana?"

Selama mengenal Vito Madaharsa, barangkali, ini adalah kali pertama ia melihat sorot matanya sesayu itu, sekuyu itu. Seolah-olah tak lagi ada nyawa yang bersemayam di sana, tak ada lagi semangat yang mengisi setiap pandangan mata Vito yang terbiasa teduh. Hanya ada keputusasaan yang ia lihat, hanya ada kekarutmarutan yang ia saksikan.

"Enggak ada yang pernah siap dengan perpisahan, Vit—Cici tahu itu. Tapi—mau sampai kapan? Udah tiga hari dan kamu masih terus begini"

"Emangnya, bisa apa orang-orang yang ditinggalkan di hari ketiga selain merayakan kehilangannya, Ci?" Vito memalingkan kepala, "Tiga hari buat merayakan kehilangan yang selamanya—itu belum ada apa-apanya 'kan?"

PRESTIGE [Completed]Kde žijí příběhy. Začni objevovat