Bab 22. Lebih dari Egoku

560 88 106
                                    

Dia belum beranjak—sama sekali belum beranjak. Hanya berdiam diri dengan kedua netra yang mengerjap lamat-lamat seiring semakin kembang kempisnya dada yang menampung segala kelumit juga tutur kata yang tak bisa diutarakannya. Mati-matian mengusir cemburu yang membakar dada sekaligus rasa sakit yang semesta rengkuhkan kepada dirinya baru saja—tepat setelah peluh dan desah itu keluar dari lembab bibir wanitanya yang sayangnya tak menyadari apa-apa, masih lelap dipeluk mimpi bersama dekap selimut tebal yang sudah Vito tanggalkan bersama luka-luka yang menciptakan nestapa. Kedua tangan yang tersimpan di bibir ranjang ia kepalkan erat-erat setiap kali nama yang entah secara sadar atau tidak Puannya sebut sewaktu keduanya masuk ke dalam suralaya tadi ikut masuk ke dalam telinga, menguasai isi kepala yang kemudian membakar rasa di dalam jiwa—melumpuhkannya dengan tikam kecemburuan yang tak bisa diutarakan dengan kata-kata.

Vito seperti merasa terkhianati. Merasa dipecundangi oleh segenap kepura-puraan yang sayangnya begitu indah dimainkan oleh istrinya setiap hari hingga sulit bagi dirinya untuk sekadar membenci apalagi mencaci. Remuk redam dadanya hanya bisa ia simpan seorang diri sambil terus berdoa di dalam hati;semogalah ia tak akan pernah meledak suatu hari nanti.

"Mas..."

Vito memejamkan mata, menutup kelopaknya agar bertautan sedemikian eratnya selama beberapa jenak sebelum akhirnya membuka lagi—tepat saat tangan halus itu merengkuh pinggangnya yang belum ia tutupi apa-apa. "Dalem, Dek?"

"Kenapa udah bangun?"

Chika bahkan tak sadar nama siapa yang ia sebut saat masuk ke suralaya tadi. Lihatlah dari wajah yang sama sekali belum—atau tidak akan pernah—menunjukkan rasa bersalah hingga kini. "Udah siang 'kah?"

"Hm." Vito berdeham singkat. Menurunkan lingkaran lengan Chika dari pinggangnya untuk beranjak berdiri. "Saya mau bersih-bersih dulu, ya, Ca? Jam delapan udah harus sampai sana"

Chika berangsur duduk dan bersandar di ranjang. Mengucek matanya yang masih terasa berat. "Mau pakai baju warna apa biar aku siapin"

"Enggak usah, Ca. Saya bisa nyiapin sendiri, kok. Kalau kamu masih ngantuk, tidur lagi aja," ujar Vito. Ia menyempatkan diri melukiskan senyum sebelum membalikkan badan seusai memakai kausnya yang bercecer di lantai kamar Kulacino. Berniat keluar untuk membersihkan diri, tetapi terjegal oleh suara Chika yang memanggilnya—lagi.

"Sayang..."

Terkutuklah semesta yang menciptakan manusia seperti Yessica Tamara. Yang selalu memiliki cara untuk melemahkan Vito melalui segala tutur katanya yang maha lembut itu.

"Iya?"

"Morning kiss?"

Vito menghela napas. Tersenyum kembali. "Nanti aja kalau saya udah mandi. Saya buru-buru, Ca"

Melenggangkan kaki, beranjak pergi. Meninggalkan Chika yang masih belum mampu mengerti jika di balik dada Vito ada yang membakar setengah mati.

Hanya butuh waktu sepuluh menit agar semerbak aroma lemon yang amat khas dengan pria itu agar kembali lagi ke dalam kamar—dengan handuk yang membebat pinggang beserta kaos putih yang menutup badan.

"Saya udah bilang enggak usah nyiapin baju saya 'kan, Ca?" Vito menutup pintu kamar itu, mendekati Chika yang baru saja meletakkan kemeja berwarna biru langit di atas kasur. "Warnanya juga jangan ini. Saya enggak pede pakai baju warna terang begini"

PRESTIGE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang