Bab 20. Here We Go Again

636 87 42
                                    

Kesedihan, mari bersulang!

Mari mabuk air mata di bawah temaram. Tidak ada masa depan, tidak ada huru-hara. Semuanya jauh, tidak ada yang menyelamatkan. Akan kuaduk selokiku dengan jari, mengundang puisi-puisi, jatuh dan retak, serta—punggung pemuda yang kian menjauh angkuh, tak mampu kurengkuh.

Di dada, penuh jelaga yang pengang rasa remaja. Sesak dan serak, seberkas senyum masih tak mau membiarkanku bernapas lega.

Mungkin, benar yang Aan Mansyur bilang. Lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang.

Kebas, kebas, kebas.

Kesedihan, mari tamatkan malam ini. Mari merapalkan doa semoga esok tak lagi ada rasa apa-apa.

...


Dengan pelan, ia membenturkan punggung pada sandaran kursi yang tengah ia duduki. Menutup halaman terakhir dari jurnal berwarna cokelat tua yang ia temukan tanpa sengaja di bawah sofa—entah terjatuh atau sengaja diletakkan di bawah sana oleh si empunya.

Gores-gores tinta itu menyayat jiwanya perlahan-lahan. Ada luka-luka yang menciptakan nanah, hingga membiru relung dadanya. Tentunya tidak tanpa alasan bilur itu membujur di sekujur jiwa. Melainkan karena sederet narasi yang ditulis sepenuh hati oleh lentik jemari sang Puan, yang pada hari ini, masih begitu betah menyembunyikan tubuh polosnya di balik selimut tebal di lantai dua—di kamar mereka.

Dua tahun bersama, dua tahun berusaha merenda cerita akhir memiliki akhir yang sempurna, tetapi ia salah juga. Yang semula disangka telah benar-benar menaruh cinta, ternyata hanya berpura-pura, menyakiti dirinya sendiri, menciptakan titik-titik nelangsa yang diperankan sedemikian sempurnanya.

Tanpa harus mengeja renda-renda kata itu kembali, Vito tentu sudah mafhum siapa yang dimaksudkan sang Istri pada lembar terakhir di jurnal cokelat tua yang digenggamnya. Tanpa harus menerka-nerka, Vito juga harusnya tahu siapa nama yang diam-diam Chika tangisi dan bingkai foto siapa yang wanita itu peluk di antara remang cahaya di penghujung malam—pada waktu-waktu tertentu di mana Chika tak bersedia ia sentuh, enggan ia rengkuh.

Hah—Vito tak paham mengapa di dunia ini, dari sekian banyak manusia, ia harus menjadi satu di antaranya untuk memiliki kisah yang semacam ini, serupa ini. Menundukkan kepala sedalam yang ia bisa, memijit pangkal hidungnya yang terasa pening beberapa lama.

Dia menyakiti Chika, berulang kali.

Menggorekan traumatis juga semua rasa sakit yang mengiris-iris, hanya karena kebodohannya yang berujung pada romantisasi segala bentuk kebejatannya dua tahun lalu—terhadapa Chika, terhadap mendiang anak mereka.

Suara sirine yang menggema dari lantai dua menyebabkan ia menenggak secara perlahan. Alarm Chika kembali berbunyi, untuk kesekian kali. Sedangkan perempuan itu justru masih meringkuk di bawah selimut tanpa terusik oleh bunyi yang lumayan berisik, yang seharusnya Vito tahu juga, bila itu adalah tabiat sang Istri setelah mereka sepakat berdamai malam itu—atau lebih tepatnya berpura-pura berdamai dengan semua rencana yang telah Tuhan tetapkan.

Ia mendorong mundur kursinya hingga menjauh dari meja makan. Menutup jurnal cokelat tua yang Chika punya untuk dikembalikan di bawah sofa seperti sedia kala. Naik ke lantai dua, menemukan perempuan itu baru saja membuka mata.

"Saya kira belum bangun" Vito tersenyum di bibir pintu, "Enggak paham fungsi alarm yang kamu pasang buat apa kalau nyatanya setiap pagi masih butuh saya buat bangunin."

Chika hanya menggumam panjang. Membetulkan selimut tebalnya agar tak merosot terlalu ke bawah, mengembalikan gawainya ke atas nakas. "Morning, Mas. Kiss me, please?"

PRESTIGE [Completed]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن