Bab 14. Makna

568 86 29
                                    

Cangkir-cangkir kesedihan baru saja ia seduh. Teduh aromanya menyentuh nyalang sudut-sudut indera pembaunya hingga mengalir tepat ke dalam kepala. Mengirimkan sinyal-sinyal patah hati di antara saraf-saraf keputusasaan yang menjelma menjadi kemelut luka dan lara yang menghentak-hentak relung jiwa. Membersamai kepulan tipis asap putih yang meliuk-liuk dari permukaan gelap pekatnya kopi yang baru ia seduh, lalu berakhir dengan pudarnya asap itu diterpa embus napas yang ia tiupkan ke sana.

Pahit sesap pertamanya ia cecap sedemikian rupa. Getir perpisahan begitu kental membalut lidahnya bahkan sejak regukan pertama yang ia lakukan. Meninggalkan bilur-bilur lara di sekujur dada kemudian menyisakan lebam-lebam berwarna ungu yang tak kasat mata—perpisahan itu menyakitinya, membunuhnya tanpa ada manusia-manusia yang mampu melihatnya.

"Chik, kita—udahan aja, ya?"

Jangan tanya bagaimana kelunya lidah Amir kala itu, apalagi jiwanya yang remuk redam saat mengutarakan niat itu kepada sang Puan—tepat tiga hari setelah kemarahan Vito yang membawanya pada perenungan panjang yang penuh nestapa.

"Mungkin—benar kalau ini jalan paling baik buat aku, kamu, Vito dan juga—anak kalian. Diakui atau enggak, nyawa itu emang ada di diri kamu 'kan, Chik?"

Amir mendesahkan napasnya panjang-panjang. Menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi tempatnya memakukan diri sembari menyugar rambutnya yang melebat. Kepul-kepul kekalutan semakin lama semakin jelas bersarang di dalam kepala seiring semakin kuatnya rapal-rapal penghabisan yang ia utarakan kepada Chika di hari itu muncul dan menghantui tempurungnya. Menciptakan bekas-bekas patah hati yang kian nyata dan kentara.

"Kenapa? Karena aku udah enggak kaya dulu lagi?"

Sama sekali tidak—benar-benar bukan karena diri Chika yang sekarang. Hanya saja—Amir merasa perannya dalam kehidupan Chika bukan lagi sebagai pemeran utama, melainkan yang kedua—atau justru figuran setelah pemeran pria utama yang sebenar-benarnya Tuhan pilihkan datang dengan tiba-tiba. Merusak alur cerita yang ia dan Chika susun sedemikian rupa, hingga menyisakan puing-puing romansa yang tak akan bisa dirangkai sampai epilog cerita yang keduanya punya.

"Aku bisa minta pisah sama Vito dan setelah itu dia bawa pergi anak ini. Atau—atau kalau enggak, kita berdua yang pergi. Kita mulai semuanya lagi, Mir."

"Kamu tega ninggalin anak kamu yang bahkan sama sekali enggak tahu apa-apa soal masalah orang tuanya? Kamu—tega, Chika?"

Lalu hening. Di hari itu Amir benar-benar membuktikan keyakinannya akan perasaan Chika terhadap eksistensi makhluk yang masih setia berbagi kehidupan bersama wanitanya. Perempuan itu, sekaku apa pun perasaannya, tak akan pernah benar-benar tega meninggalkan anaknya. Meninggalkan manusia yang sejak pertama kali kedatangannya telah mengatakan nyaman kepada diri Chika yang masih belum mengerti makna apa-apa.

"Enggak apa-apa, Chika. Aku—enggak apa-apa. Mungkin emang takdir kita sejak awal cuma sampai di titik ini aja. Enggak bisa lebih. Jadi udah, ya, udahan aja? Aku juga cuma akan jadi orang jahat kalau terus-terusan pengin kamu di sini dan bikin orang-orang yang lebih berhak atas kamu kehilangan kamu nanti. Aku enggak mau keponakan aku ngerasain rasanya keluarga enggak utuh itu, Chika"

Pada hari itu juga, untuk terakhir kalinya Amir berani memeluk Chika sedemikian eratnya, sedemikian kuatnya. Seolah mengatakan pada perempuan itu jika ke depannya kehidupan harus tetap berjalan baik-baik saja—ada atau tidaknya kata kita di antara mereka berdua.

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now