Bab 04. Ruam Rindu

604 90 8
                                    

Langit berubah gelap. Jelaga pekat menyandera bentang luasnya yang semula indah dibalut warna jingga, menenggelamkan surya hingga terperosok ke pembaringan bumantala. Mengambil alih genggam waktu, memberi kabar kepada seluruh manusia yang direngkuhnya bila segala kerja keras serta peluh yang mengucur di pelipis mata harus sudah diselesaikan untuk hari ini.

Gerimis tak lagi hadir, jamah-jamah lemahnya tidaklah bersemangat mencumbu tubuh bumi sedari tadi semacam hari-hari sebelum ini. Akan tetapi, Bekas-bekas roda kendaraan masih bisa jelas ia pandang tatkala kaki berbalut pantofel hitam yang ia punya mulai membelah jalanan setapak menuju rumah. Bersama kerik jangkrik serta dengkang katak yang susul menyusul masuk ke gendang telinga.

Kepalanya masih betah menunduk kendati telah sampai ayunan tumitnya di depan pintu kayu mahoni yang membatasi ruang tamu dan teras rumah yang aromanya saja sudah menguarkan semua kenangan-kenangan yang ia punya dengan begitu jelas dan kentara. Rasa gugup itu semakin kuat menyusup bersama degup jantung yang kian meletup-letup. Mengakarkan sejuta ketidakberanian serta dugaan yang masih berupa kemungkinan yang sayangnya justru telihat amat mengerikan. Rongga-rongga dadanya terasa sesak, kepala yang sejak pagi tak ia gunakan untuk beristirahat kian berdentum kala dipukul susunan kalimat yang ia rangkai sedemikian rupa untuk menjelaskan semuanya kepada sang Kakak yang ia yakini akan amat tak menerima semua keputusan yang akan Vito jalani-terlebih setelah mengetahui apa alasan adiknya mengambil jalan ini sebagai keputusan akhir hingga terkesan terburu-buru.

Napasnya yang tenang, kerung-kerung kening yang membentuk jurang tajam, serta tautan alis yang kiat rekat-hah, Vito masih tak kuasa jika nanti harus disuguhkan ragam kekecewaan atas semua tindak tanduknya yang amat memalukan.

"Vit."

Teguran itu membuyarkan semua dialektika Vito bersama kesalahan yang menari-nari di dalam kepala. Membuatnya menolehkan kepala, mendapati ringkih tubuh kakaknya berdiri di belakang punggung, kemudian mengulaskan senyum tipis sebagai salam pembuka.

"Mbak Anin"

Seperti biasa, tangan itu akan langsung meraih punggung tangan sang Kakak untuk dicium dengan amat takzim. Merundukkan punggung penuh rasa hormat, sebelum akhirnya menegakkan tubuh kembali.

"Ke sini, kok, enggak bilang dulu?" Kakaknya, Aninditha, menyeret tumit agar berdiri menyisihi Vito. Membuka kunci rumah yang masih nampak temaram, "Untung Mbak udah sampai rumah. Kalau belum kamu nunggu di luar"

"Iya, Mbak, tadi kebetulan ada tugas mengisi seminar di dekat sini. Terus mampir sebentar" Vito melepaskan sepatu pantofel yang membalut kaki, meletakkannya di rak depan, "Mas Boby ke mana, Mbak? Kok, sepi banget?"

"Oh, Masmu masih di kebun. Belum pulang"

"Lho, terus Mbak pulangnya sama siapa barusan?"

"Hendra" Anin menekan saklar di ruang tamu, yang secara langsung membuat lampu teras ikut menyala dengan terang. "Mau makan apa? Biar Mbak masakin"

Vito menggelengkan kepala. "Enggak usah, Mbak. Saya sudah makan tadi"

"Oh, oke. Mbak bersih-bersih dulu, ya?"

Pria itu menganggukan kepala. Menjatuhkan tubuh di kursi ruang tamu yang kokoh kemudian menyandarkan punggung pada sandarannya yang begitu nyaman. Membiarkan Anin berangsur pergi, meninggalkan dirinya pada lautan kata-kata yang sayangnya masih tertinggal di pangkal lidah.

Semua kekalutan itu lagi-lagi muncul di dalam kepala. Semua rasa bersalah yang semula hanya ditujukan kepada Chika dan adiknya kini bertambah satu dengan adanya Aninditha yang sayangnya juga merupakan bagian paling penting yang sebentar lagi akan ia buat cedera. Akar-akar kekarut marutan semakin hebat mencekam relung dada, menenggelamkan kata-kata yang sejatinya harus ia keluarkan juga.

PRESTIGE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang