Bab 23. Kukira Kau Rumah

581 89 49
                                    

Kukira kau rumah, nyatanya kau cuma aku sewa
...

Dia tidak banyak bicara. Hanya memandangi ruas jalanan yang kian padat sebab desakan kendaraan yang tak dapat menambah laju kecepataan akibat kungkungan hujan yang membungkus kota. Dera-dera airnya turun dengan begitu hebat, menghantam badan-badan jalan sekaligus atap-atap mobil hingga menimbulkan bunyi gemuruh yang begitu riuh. Satu dua kali suara klakson terdengar menyapa telinganya dengan amat nyalang, menyalak-nyalak bak lolongan anjing pada penghujung malam, saat lamun panjangnya datang menyandera begitu saja, mendekapnya erat-erat, menjebaknya pada lautan ketidaksadaran yang membahayakan. Deret-deret abstrak yang diciptakan oleh ribuan ilusi itu datang menyambangi kepala, mematahkan satu dua kepercayaan dirinya akan kata setia yang pada saat itu begitu kuat ia pegang saat pemilik hatinya yang terdahulu menginginkan kata sudah sebagai akhir dari buku mereka yang telah berganti halaman. Menyuburkan kembali rasa yang dikiranya telah layu tersebut hingga mengakar sedemikian kuatnya—lagi dan lagi, setelah ia benar-benar memutuskan untuk menjadikan Tuannya kini sebagai pelabuhan hati.

Cahaya kilat yang mengakar rendah membuat netra cokelatnya mengerjap sebab dipukul keterkejutan. Menyadarkannya jika laju mobil yang ia kendarai telah sampai di tempat di mana ia dan manusia bernama tengah Fathnan itu membuat janji, yang secara refleks, menggerakkan kakinya untuk menginjak pedal rem di bawah sana. Mengumpulkan napas sebanyak-banyaknya, untuk kemudian ia buang selega-leganya.

Tidak—Chika tidak boleh terjebak pada kesalahan yang sama untuk kedua kalinya—tidak untuk kali ini. Pertemuannya pada Amir tak boleh memuarakan cerita ini pada akhir yang menyedihkan, tidak boleh pula membuat sayatan sembilu itu semakin tegas menciptakan garis di sepanjang dada yang telah dihiasi oleh bilur-bilur yang membiru—tidak boleh sama sekali.

Kepala yang semula ia letakkan di kemudi mobil itu pada akhirnya terangkat juga kala ketukan lembut menjamah telinganya dari arah luar. Menitikkan mata dengan seorang pria yang hari ini sudah berdiri di samping pintu mobil tempatnya duduk dengan sebuah payung berwarna biru yang sayangnya adalah pemberian Chika beberapa tahun lepas—di hari di mana Amir mengantarkannya pulang untuk pertama kali.

Senyum pria itu yang selalu saja meneduhkan pandangan Chika serta caranya menatap yang tak pernah berubah, membuat Chika mengaku kalah pada akhirnya. Membuka pintu mobilnya, menghambur di pelukan lelaki paling manis yang pada hari itu pernah ia pinjam namanya pada doa-doa yang ia senantiasa ia panjatkan.

"Kamu gendutan" Itu adalah kalimat pertama yang Amir lontarkan pada Chika. Mengangkat rendah tangannya untuk mengusap punggung yang tertutup surai panjang perempuan itu beberapa kali. "Bahagia banget, ya, hidup sama Abang?"

Chika tak menjawab. Pelukannya hanya semakin kuat, semakin erat. Yang entah kenapa membuat Amir turut serta masuk ke dalam romansa penuh elegi yang Chika punya.

"Kamu bahagia 'kan, Chika?"

"Not as happy as you think" Chika mengangkat wajahnya, menatap Amir yang melindapkan mata. "Aku—enggak sebahagia itu, Mir."

"Kenapa? Vito enggak memperlakukan kamu dengan baik?"

Chika menggelengkan kepala. Kembali menelusupkan lengannya di antara bahu Amir untuk memeluknya kembali. Menjatuhkan wajah di dada pria tersebut. "He gave me everything, but I gave him just a makeshift"

...

Merelakan cerita yang telah usai—nyatanya—tak pernah semudah yang kepalanya kira. Serpihan kenangan itu masih ada, tersimpan dengan nyata dan sempurna. Bercokol di ruang-ruang gelap yang kadangkala membuat gelagap setiap kali datangnya tak diminta-minta hingga akhirnya membawa mereka semua terjebak pada ruang nostalgia—abu-abu dan gelap, hingga sulit untuk diraba-raba pada bagian mana ujungnya. Tidak, ini bukan hanya soal kerja hippocampus yang erat kaitannya dengan arsip-arsip memori di dalam kepala—lebih dari itu, ini adalah soal makna serta kata sia-sia yang belum bisa mencapai kata rela.

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now