Bab 32. Menutup Kisah

934 103 63
                                    

Sejujurnya, kita adalah sepasang pecundang, Sayang. Berpura-pura tak lagi saling mengharapkan, padahal kenyataannya masih saling menginginkan.

...

Tidak setiap hari, tetapi cukup rutin dalam sebulan sekali.

Tidak terlalu banyak mengisi, tetapi sering mendominasi.

Chika harus mengakui jika lelaki yang pada malam itu menolak dia ajak mengulang semuanya kembali adalah satu dari sedikit manusia yang mampu dipegang segala tutur dan aturnya dengan segala kata sungguh. Meski tak semanis saat semuanya belum menjadi rapuh, tetapi setidaknya Chika patut bersyukur karena lelaki itu masih mau mengusahakan agar kehadirannya tetap terasa utuh-terlebih usahanya untuk menurunkan segala bentuk egoisme dan patah hatinya akibat cedera yang Chika hadirkan hanya demi membuat ia ada di dalam setiap masa yang calon anak mereka butuhkan untuk tumbuh.

Tidak, tidak juga seromantis hingga sudi mengantarkan Chika pergi ke rumah sakit dari bulan ke bulan atau semanis langsung mengiyakan permintaan Chika saat ia menginginkan sesuatu di tengah malam-tidak seindah itu. Setelah malam itu, Chika sama sekali belum melihat suaminya lagi-dalam artian saling menindihkan iris mata dan bertukar sapa meski sekadar basa-basi dan menanyakan kabar antara satu dan yang lainnya. Hanya ada tulisan-tulisan tangan pria itu yang sampai di kediamannya, membersamai barang-barang kebutuhan calon anak mereka yang ternyata sebegitu rincinya Vito persiapkan.

Saban bulan, pada minggu-minggu kedua, ada saja barang-barang yang datang ke kediaman orang tua Chika-entah itu tempat bayi yang telah Vito rakit sendiri, mainan ini dan itu, serta printilan-printilan kecil yang bahkan belum sampai di kepala Chika. Dia tidak tahu sesemangat apa Vito dalam menyambut anak mereka, tetapi melihat antusiasme yang lelaki itu tunjukkan, cukup mampu membuat Chika merasa lega dan menghangat. Setidaknya, sehancur apa pun hubungan mereka berdua saat ini, anak mereka tetap akan merasakan genap di antara orang tuanya-ya, semoga saja.

"Sayang, udah tidur?"

Suara itu membuat Chika yang semula memunggungi pintu menjadi membalik juga. Melihat sang Mama berdiri di ambang pintu dengan senyum sehangat mentari yang mau tak mau, pada akhirnya, membuat ia tertular senyumnya juga. "Belum, Ma. Ada-apa?"

Dengan susah payah Chika mencoba untuk duduk, menyingkap selimut yang semula menutupi setengah badannya kemudian mengekori langkah ibunya yang mendekat ke arahnya.

"Enggak, sih, enggak kenapa-kenapa. Tadi Mama lihat kamar kamu masih nyala, makanya Mama masuk." Ikut bergabung bersama putrinya di ranjang kamar, mengusap rambut sang anak yang halus dan panjang. "Perutnya masih sakit?"

"Sedikit. Pegel-pegel aja, sih, Ma, punggungnya. Jadi susah buat tidur" Chika tersenyum, menurunkan tangan sang Mama dari puncak kepala. "Mama juga kenapa belum tidur?"

"Tadi kebangun." Perempuan itu tersenyum, "Tiduran coba, Nak. Biar Mama usap-usap biar enggak pegel."

Chika menurut. Kembali berbaring menyamping memunggungi sang mama, membiarkan tangan lembut itu memijit pelan pinggangnya yang belakangan sering sekali terasa pegal dan panas. Memejamkan mata, membiarkan kelembutan tangan perempuan yang amat diseganinya itu memijit pelan pinggangnya.

"Ma..."

"Hn? Kenapa, Nak?"

"Waktu Mama mau melahirkan Chika, itu sakit enggak?

Mama Chika terdiam sebentar sebelum menjawab, gerak tangannya yang memijit pinggang sang Anak juga terjeda sebentar sebelum akhirnya kembali bersuara. "Sakit. Sakit banget," ujarnya, "Sampai rasa-rasanya Mama mau meninggal aja waktu itu karena udah enggak kuat sama sakitnya. Tapi sakitnya itu langsung ilang waktu denger kamu nangis buat pertama kali." Mama Chika tersenyum, sedikit melongokkan kepala untuk mengintip wajah sang Putri. "Kenapa? Adek takut?"

PRESTIGE [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant