Bab 03. Merenda Rencana

639 92 14
                                    

Hampir saja, separuh harapnya menghilang.

Hampir saja, setengah dari jiwanya melayang.

Hampir saja, tujuannya tetap berjalan melanglang.

Hampir saja—dunianya menghilang.

Kala kalimat pemberitahuan yang Tasya kabarkan menyapa mesra gendang telinganya yang baru didengungi celosan kuat suara Ratu yang menyayat bagai sembilu. Menghunus dirinya sampai mencapai pilu, kemudian lenyap dan senyap. Tidak menyisakan apa pun kecuali riak-riak rasa bersalah sekaligus ketidakpercayaan yang menguasai batin serta jiwanya.

Di penghujung siang yang dibersamai lamat-lamat suara Anastasya beserta Helisma, Vito masih bisa merasakan kepul asap yang menggelanyuti kepala. Masih ada berbagai rasa tidak percaya, sekaligus bersalah, saat apa yang dokter jelaskan setengah jam lalu masih saja setia bersarang di balik tempurungnya.

Punggung itu membentur dinding perlahan. Mengatupkan pandangan mata seerat yang ia bisa. Beberapa bisik-bisik samar yang dua orang teman Chika lemparkan nyaris tidak ia hiraukan keberadaannya. Vito hanya ingin berdamai, masih ingin berdamai dengan semua kebodohan yang baru saja Chika lakukan.

"Pak, sebelumnya kami bol—"

"Iya, saya sudah dengar" lembab bibirnya lekas menginterupsi. Membuka mata dengan segera, menegakkan punggung yang semula layu. "Benar, Chika sedang mengandung—anak saya"

Dua anak itu sama-sama terkejut. Ada ketidakpercayaan yang bisa Vito baca dari wajah penuh lelucon yang biasanya Anastasya serta Helisma tampilkan. Saling memandang, kemudian menatap Vito kembali.

"Tapi—sejak kapan?" Tasya, dengan suaranya yang begitu pelan, masih berusaha bertanya.

"Dia enggak pernah cerita kalau punya hubungan sama Bapak. Dia—kekasih adik Bapak sendiri 'kan?" Cicit Helisma.

Lelaki itu menghela napasnya dengan amat berat. Menganggukkan kepala lalu menatap dua gadis itu begitu dalam. "Ceritanya panjang. Akan saya ceritakan nanti. Sekarang, saya minta tolong untuk jangan diceritakan ke siapa-siapa dulu, ya?"

Gadis-gadis itu jelas mengangguk. "Pasti, Pak. Kami janji enggak akan bicara soal ini ke yang lain"

"Terima kasih"

Jika biasanya senyum Vito adalah candu bagi dua anak ini, maka sekarang, ada sesuatu yang harus dijaga agar tidak meletup-letup kala dosen tampan itu melemparkan senyum. Mereka tidak boleh terkesima, tidak boleh juga berlomba-lomba mendapatkan hati Vito yang mereka puja.

"Saya masuk dulu. Kalian kalau mau kembali ke kampus silakan. Sekali lagi terima kasih banyak karena sudah membawa Chika ke rumah sakit"

Pria itu kemudian berdiri. Menundukan pandangan sebagai bahasa tubuhnya saat berniat pergi, kemudian masuk dan hilang di balik pintu besi. Menemui Chika yang pada saat ini masih belum sadarkan diri.

Nyalang aroma obat-obatan tercium sampai telinganya. Titik-titik bunyi cairan infus turut serta menggema dengan sedikit kuat, kala sepi kamar rawat inap Chika tak mampu ditembus suara apa-apa dari arah luar. Pasi wajah wanita itu—sekali lagi, membuat dada Vito mencelos dan dihantam perasaan bersalah yang tak terperi. Kala ingatan kelam penuh dosanya menggerayangi kepala tanpa bisa ia cegah dan jeda. Ribuan pengandaian lagi-lagi bersarang di dalamnya, kata-kata penenang yang sebenarnya hanya berupa penyangkalan tak juga bisa ia tahan untuk tak keluar.

Vito menarik bangku yang sengaja disediakan oleh rumah sakit agar semakin dekat dengan brankar tempat Chika berbaring. Menjulurkan tangannya, menepikan helai rambut mahasiswinya yang sedikit berantakan dan kacau. Dia juga baru sadar jika pipi milik Chika nampak sedikit lebih kurus dari sebelumnya.

PRESTIGE [Completed]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu