Bab 05. Mengikat Akad

625 90 2
                                    

Lamat-lamat, beberapa gerutuan mampir dan singgah ke dalam telinga. Rapal-rapal tipis keluar melalui meronanya bibir semerah buah plum di depan mata, tatkala iris itu mengintip melalui pelupuk netra. Beberapa penggalan sumpah serapah bisa dengan mudah ia cerna ketika menelusup ke dalam telinga, membersamai sempalan napas yang tak bisa dikatakan tenang oleh si empunya. Lembut dan hangat sentuhan handuk yang mengenai ujung bibirnya berbanding terbalik dengan kungkung atmosfer yang pada saat ini memenuhi kamar seluas tiga kali tiga meter yang biasa dia diami beserta temaramnya lampu yang tergantung di atasnya—pada beberapa waktu, kala ia bertandang ke rumah masa kecilnya.

Vito mendesis sedikit keras, tatkala sentuhan handuk yang Anin berikan tak lagi sampai pada titik lembut. Membuat dirinya mengaduh kesakitan, kemudian menyentuh ujung bibirnya yang sobek dan lebam keunguan.

"Mbak, jangan kuat-kuat. Ini—sakit" Vito beranjak berdiri. Duduk di bibir ranjang untuk menyudahi perbuatan Anin dengan masih menyentuh rahangnya sendiri. "Saya bisa sendiri, kalau misalnya Mbak udah mulai capek"

Tangan Vito yang terangkat rendah untuk mengambil alih handuk dalam genggaman Anin justru tersentak kembali. Ada keterkejutan tatkala sang Kakak tiba-tiba saja membanting handuk tersebut hingga masuk ke dalam wadah berisi air hangat hingga menyebabkan airnya memercik mengenai wajah lebam Vito. Membuat pria itu memejamkan mata, mengurut dadanya panjang-panjang.

"Mbak, ada apa?"

"Masih bisa tanya ada apa?" Nada bicara Anin meninggi, menatap adiknya penuh tendensi. "Harga diri kamu direndahkan sampai segitunya sama keluarga Bapakmu yang enggak waras itu dan kamu masih bisa nanya ada apa? Mbok ya dipikir baik-baik, to, Vit. Kamu, tuh, tegas sedikit jadi laki-laki. Jangan apa-apa cuma iya aja. Mentang-mentang dia yang kasih biaya sampai kamu berhasil atau gimana?"

"Enggak begitu, Mbak." Ada desah napas yang anak itu lontarkan, menurunkan kaki yang telanjang tanpa alas hingga menjamah ubin seputih pualam, kemudian menatap ringkih punggung sang Kakak. "Cuma, saya rasa, begitu memang jalan paling baik dari semua keputusan yang seharusnya diambil. Mengekang Chika enggak akan menjadikan kami bahagia dan membiarkan anak saya enggak ada pun, juga akan membuat saya jadi berdosa. Kita semua bahkan."

"Tapi kamu jadi enggak ada harga dirinya, Vito! Kamu tahu enggak kalau sepakatnya kamu tadi bikin mereka makin merasa berhasil nyetir kamu? Enggak habis pikir Mbak, tuh, sama kamu"

"Ya udah enggak apa-apa, Mbak."

"Vit..."

"Mbak, udah, ya? Jangan marah-marah terus. Saya udah legawa dan benar-benar matang memikirkan penawaran yang Pak Hendarto dan Mama berikan. Buat saya, yang penting anak saya masih ada dan bisa tahu kalau saya ini bapaknya. Enggak apa-apa kalau setelah anak kami lahir Chika mau pergi sama Amir. Toh, kami enggak saling suka juga" Vito memaksakan senyum terbit di kedua sudut bibirnya yang terasa perih. Menatap Anin dalam-dalam yang pada saat ini sudah mau menindihkan iris mereka dengan sorot yang tentu saja berbeda, "Mbak Anin sendiri 'kan yang bilang kalau jadi manusia itu harus bisa ngemong orang lain? Ya anggap aja, sepakatnya saya tadi itu bentuk ngemong egonya Mama, Amir, Chika, dan keluarga mereka yang lain."

"Tapi bukan gitu juga konsepnya, Vit. Legawa, momong, sama ngalah itu enggak begitu konsep yang harus kamu terapin. Beberapa hal enggak bisa dipasangkan sama tiga hal itu. Kamu mengerti 'kan?"

Baru juga Anin mengatupkan mulut, tatkala derit pintu kamar memecah riuh suaranya dan Vito yang saling susul menyusul mencari pembelaan. Membuat atensi kakak beradik itu teralih ke arah seberang, mendapati Boby yang baru saja tiba dengan secarik kertas berwarna putih di genggaman tangan.

"Saya ganggu kalian?"

Anin menggeleng. "Enggak. Gimana, Mas?"

"Saya udah ke KUA. Paling cepat ijab kabulnya sepuluh hari sejak berkas-berkas punya Vito sama Chika masuk ke sana" Boby menyeret tumit, mengapit Vito yang ada di antara dia dan sang istri, "Berarti ndak bisa kalau mau dilaksanakan minggu depan. Kalian harus nunggu lagi"

PRESTIGE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang