Bab 18. God Gave Me You

630 93 27
                                    

Mata itu memicing di balik lensa kamera yang ia pasang di depan netra. Membidik seseorang yang tengah berjibaku di balik layar monitornya sembari sesekali membetulkan letak bingkai kacamata kepunyaannya yang merosot tanpa diminta. Beberapa kali meregangkan otot-otot tangannya, beberapa kali pula terlihat menguap menahan kantuk yang meninggalkan jejak-jejak penuh jelaga di bawah mata. Riuh rendah yang diciptakan manusia-manusia dari bagian dalam Kulacino—satu-satunya bagian kafe itu yang masih bisa digunakan—mewarnai aksi diam perempuan dengan dress merah muda yang begitu lembut di atas lutut. Tidak, bukan diam yang semacam itu. Melainkan karena dirinya memang tengah dikejar waktu untuk merampungkan tugas akhirnya sebagai mahasiswi tahun ini.

Dari balik jendela di lantai dua, Vito hanya bertugas mengamati. Sesekali menangkap gambar perempuan itu menggunakan kamera yang diam-diam selalu ia bawa untuk mengabadikan apa-apa saja yang perempuan itu lakukan setelah hari-hari berat menyapa mereka-bagaimanapun warna mimik yang Puannya punya.

Vito mengabadikan semuanya—kerungan di keningnya, tautan alis tebal yang menaungi mata, hingga lamunan panjang yang berujung isak tanpa suara yang perempuannya lakukan. Vito—mengabadikan semuanya, dengan lensa yang ia punya.

Ia turunkan kamera itu dari depan matanya. Mengambil selembar foto yang baru saja tercetak keluar dari sana kemudian mengibas-ngibaskannya ke udara selama beberapa lama. Ada senyum yang tidak Vito lunturkan, ada lengkung bibir yang tidak pria itu turunkan, kala iris segelap obsidian yang dia punya menangkap indah wajah Chika yang selalu saja terlihat sempurna.

"Mbak cari daritadi, ternyata lagi di sini"

Vito langsung memutar kepalanya. Melihat Anin baru saja tiba sambil membawa dua tenteng tas berisi kebutuhan sehari-hari dan buah tangan dari Bumi Pajajaran sana.

"Pantes dipanggil-panggil enggak denger" perempuan itu menyeret tumitnya mendekati sang Adik, menyiritkan mata saat melihat seseorang duduk di halaman belakang Kulacino yang ditata sedemikian rupa sebagai calon kafe nantinya—memperlebar bagian dalam yang sesekali tak cukup luas menampung manusia-manusia yang berjibaku dengan semua kegiatan mereka di dalam sana. "Itu—Chika?"

Vito menganggukan kepala. Meletakkan kamera yang ia bawa di atas meja dan mengulaskan senyumnya ke arah sang Kakak. "Iya. Tumben main enggak kasih kabar dulu. Ada apa?"

Anin memalingkan wajah. "Enggak boleh? Dulu boleh. Mentang-mentang udah ada Chika, ya?"

Mendengar jawaban kakaknya, Vito jadi mendecakkan lidah. "Bukan, bukan yang kaya gitu, Mbak, maksud saya. Cuma—enggak biasanya mendadak gini. Mbak sering kasih kabar dulu ke saya atau lewat Bi Inah. Terus sekarang tahu-tahu udah sampai sini. Ada apa?"

"Main aja" Anin kembali memalingkan pandangannya ke arah depan. Menatap Chika yang sudah menutup monitor miliknya kemudian menjatuhkan kepala di sana-di atas lipatan tangannya yang bertumpu pada laptop kepunyaan perempuan itu. "Chika—belum baik juga?"

"Ya gitu, Mbak," jawab Vito. Ujung sepatunya menyentuh lantai kayu Kulacino yang baru saja dibersihkan sebelum akhirnya menenggak, menatap kakaknya yang telah melindapkan netra. "Udah mau makan, kok. Cuma—mungkin untuk ngobrol, belum bisa kaya kemarin-kemarin."

Anin menganggukan kepala. Sebelah tangannya terangkat rendah untuk mengusap bahu kanan Vito dengan lembut. "Sabar, ya. Mbak yakin kamu sama Chika bisa lewatin ini semua, kok. Chika juga akan sembuh nanti. Dia bisa senyum lagi, bisa kaya dulu lagi. Dia—cuma butuh waktu, Vit."

Ada selaksa luka yang tiba-tiba menyergap pandangan Vito. Pedih itu sampai ke ulu hatinya. Membuat ia tiba-tiba ikut terlempar pada semua kekelaman yang pernah-dan mungkin masih terus—membelenggu jiwa perempuan itu.

"Mbak, saya—"

"Enggak apa-apa, Vit. Enggak usah disinggung lagi. Mbak_udah enggak apa-apa, kok." Anin mengulaskan senyumnya, sesaat sebelum kembali menatap Chika yang yang duduk di luar Kulacino.

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now