Bab 06. Setelah Akad

614 88 8
                                    

Matanya yang hitam pekat memandang lurus rimbun pepohonan yang terayun mesra oleh angin pada batas senja yang menitahkan mentari untuk merangkak turun kembali ke peraduan. Cicit anak ayam terdengar berkali-kali merambah gendang telinganya yang masih sering disinggahi lamat-lamat suara tamu undangan, yang hingga pada pukul lima lebih sekian belum kunjung membubarkan diri. Beberapa tetangga dekat masih hilir mudik datang ke rumahnya sekadar untuk mengucapkan selamat kepadanya—yang sebenarnya lebih sering berhadapan langsung dengan Anin atau Boby yang masih duduk di teras depan menyambut tetangga-tetangga yang baru berkesempatan hadir sore ini.

Vito sendiri memilih menyendiri di belakang. Memangku stoples berisi jagung-jagung kering untuk ditaburkan ke tanah agar dimakan oleh ayam-ayam kepunyaan Boby, sekaligus menyendiri dan menepi. Riuh kepalanya belum bisa ia tenangkan. Ketakutan serta kekhawatiran itu masih menyelimuti dadanya yang terasa pengap sedari kemarin. Ada macam-macam hal yang membentur di dalam jiwanya yang baru saja dipupuk tanggung jawab yang sebelumnya tak pernah Vito kira akan datang setiba-tiba ini, membersemai perasaan bersalah kepada Chika dan adiknya.

Kegamangan-kegamangan turut serta menggelanyuti rasa. Memperparah ketakutannya terkait masa depan yang masih begitu sulit untuk diraba—tidak, bukan. Vito bukannya takut tak bisa mengemban tanggung jawab yang akad ikatnya padanya beberapa jam lalu. Dia hanya takut jika kesepakatannya bersama Tuhan untuk menjadikan ia dan Chika sepasang ganjil yang saling menggenapi akan menyiksa perempuan itu suatu waktu nanti. Benar, memang ada tenggat yang telah ia dan Chika sepakati untuk tetap bersama. Hanya saja, dalam rentan menjemput tenggat itulah ia takut menjadi neraka bagi rasa Chika yang masih terikat pada adiknya, yang dengan bajingannya harus direnggut begitu saja.

Vito takut melukai perempuan itu lebih jauh lagi, Vito takut hanya akan menambah nestapa pada kehidupan Chika yang tak sempurna.

"Kenapa di belakang, Vit?"

Ia menolehkan kepala. Menyunggingkan senyum tipisnya tatkala Boby baru saja menyembulkan langkah sembari melepas batik yang membalut tubuh kurus kering itu sedari pagi, kemudian menggelengkan kepala pelan. "Ngasih makan ayam, Mas"

"Oh, begitu" Boby mengangguk-anggukan kepala, "Sudah makan belum? Mas lihat dari pagi belum sarapan."

"Belum, Mas," cicitnya, "Nanti malam aja sekalian"

"Ndak boleh gitu. Kesehatannya harus dijaga." Boby menepuk punggung belakang adik iparnya sekali, mengusap-usapnya beberapa kali, "Gimana rasanya jadi suami, hum?"

Kepala yang tadi menunduk lekas berpaling ke arah Boby. Membetulkan bingkai kacamata yang melingkar di kedua bola mata, kemudian tersenyum lagi. "Biasa aja, Mas. Sehari juga belum ada"

Pria itu justru tertawa. Kembali menatap depan dan duduk di sebelah Vito yang sudah mendahului. Melingkarkan lengan di lututnya, mengangguk-anggukan kepala. "Selamat, ya, Vit. Semoga bisa jadi suami yang bertanggung jawab dan amanah sama keluarga—dan jadi ayah yang baik juga"

Ada sebersit senyum sumir yang pria itu hadiahkan kepada sang Kakak. Menganggukan kepala pelan-pelan. "Iya, Mas. Saya akan berusaha untuk jadi imam yang baik buat keluarga saya nanti"

"Iya. Mas yakin kamu bisa. Mas percaya, karena kamu adalah Vito. Adik kebanggaan kami"

"Aamiin. Makasih, ya, Mas, udah jadi kaya kakak kandung buat saya. Saya—harus belajar banyak dari Mas Boby"

Pria kurus itu tertawa lagi. "Sama-sama belajar, Vit. Mas juga masih banyak kurangnya"

Lalu hening. Tidak ada suara yang bisa mereka dengar kecuali dersik angin yang menggesekkan dahan dedaunan di belakang rumah, beserta suara cicit ayam yang terdengar berulanga kali. Kepak burung-burung yang dibiarkan beterbangan oleh Boby turut serta hilir mudik masuk keluar melalui gendang telinga, sebelum akhirnya pria yang selalu saja terlihat kurus itu mengeluarkan suara baritonnya kembali.

PRESTIGE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang