Bab 30. Surrender

702 104 67
                                    

"Terus kenapa lo bisa sama Chika hari ini?"

Nabil mendekatkan tubuhnya dengan meja yang membatasi ia dan Zahran malam ini—di kantin rumah sakit untuk mengisi perut sekaligus mengadu cerutu yang tentu saja tak bisa dilakukan di dalam ruangan Vito.

"Gue ngikutin mereka." Zahran mengepulkan rokoknya di udara. Membiarkan asapnya meliuk-liuk menyentuh atmosfer di atas dirinya sebelum akhirnya menyentuhkan ujung telunjuknya pada abu latu. "Gue enggak tahu mereka berantem apa aja di dalam mobil sampai Amir sebegitu emosinya terus bawa mobilnya sekenceng itu. Gue bersyukur meski udah nyungsep nabrak marka jalan, seenggaknya Chika sama anaknya masih bisa baik-baik aja"

Nabil menganggukan kepala. Menghisap rokoknya kembali. "Amir sendiri gimana?"

"Amir masih belum sadar. Gue udah ngasih tahu mamanya, ngasih tahu polisi juga. Enggak tahu, sih, posisi keluarganya bakal bisa nolong dia atau enggak, tapi seenggaknya, kita bisa merasa cukup tenang karena polisi udah jaga di depan ruang rawat dia. Jadi, kalau mau macem-macem pun juga mikir sekian kali" giliran Zahran yang memanjangkan tangan. Mematikan putung rokoknya kemudian membiarkannya jatuh di dalam asbak abu-abu di hadapan mereka, mereguk segelas teh hangat yang tersaji di atas meja. "By the way, dokter bilang apa soal Vito, Bang?"

Ada perubahan ekspresi yang mampu Zahran tangkap dari wajah ayah satu anak di hadapannya ini. Redup matanya tak bisa membohongi jika ada hal yang tak baik-baik saja di dalam diri Vito tentang keadaannya. Tentang diagnosis dokter yang selalu saja menjadi hal paling menakutkan sepanjang kehidupan pria tersebut. "Not good. Tadi, Ratu bilang kondisinya menurun. Ada pembengkakan di sekitar jantungnya yang membuat darah susah mengalir karena penyumbatan di sana. Mirisnya lagi, Stenosis Pulmonal yang Vito punya udah berkembang jadi stenosis aorta yang semakin memperburuk kondisi dia. Gue enggak tahu alasan pastinya apa, tapi menurut analisis Ratu, suplai obat-obatan yang ternyata selama ini berhenti Vito minum jadi salah satu faktor penyebabnya"

"Astaga..." Zahran melengkungkan punggung. Menatap Nabil yang baru saja meraup wajahnya. "Kenapa bisa berhenti diminum, sih, obatnya?"

Nabil mengindikkan bahu. "Gue enggak tahu. Mungkin kepergian Anin sama Boby yang bikin dia kaya gini. Belum lagi masalah pernikahannya sama Chika. Maksud gue, siapa, sih, yang bisa menerima perpisahan kalau dikasihnya sama Tuhan berturut-turut gitu?"

Zahran mengangguk-anggukan kepala. "Gue turut sedih dengernya, Bang. Semoga aja masih ada kebaikan Tuhan buat bantu Vito sembuh."

"Aamiin, Ran. Thanks doanya, ya?"

"Iya, Bang. Sama-sama"

Kemdian, suasana kembali hening. Nabil dan Zahran sama-sama sibuk dengan kegiatan meminum teh mereka sambil membiarkan pikiran keduanya berkelana ke mana-mana. Hingga akhirnya Nabil membuka suara.

"Ran, gue pengin nanya sesuatu, deh, ke elo"

Zahran yang baru saja menyeruput tehnya mengerungkan alis. "Nanya apa, Bang? Serius banget kayanya"

"Lo suka Chika, tapi kenapa lo mau bantuin Vito dan bahkan bawa Chika ke sini, repot-repot ngejelasin semuanya juga ke perempuan itu. Padahal seandainya lo enggak jelasin apa-apa ke dia, lo bisa dengan sangat mudah buat dapetin Chika—sesuai keinginan lo selama ini. Lo—punya alasan tertentu?"

Zahran terbungam. Bibirnya terasa kelu hanya untuk sekadar berujar. Menurunkan atensinya ke arah teh di atas meja, memutar-mutar gelasnya tak beraturan. "Enggak ada—enggak ada alasan tertentu buat bantuin Vito. Seenggaknya, untuk saat ini"

Nabil melengkungkan punggung. Menopang tangannya pada permukaan meja. "Berarti ada kemungkinan kalau besok lo bakal pamrih sama apa yang lo perbuat hari ini, hn?"

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now