Bab 08. Taki Kita

498 88 8
                                    

"Mas Vito, pesawatnya terbang!"

Ratu berteriak lantang ketika melihat sebuah pesawat baru saja melakukan tinggal landas. Membuat Vito yang sejak tadi sibuk dengan sketchbook dan pensil gambarnya menoleh sambil tertawa pelan. Tidak—ia tidak menatap pesawat yang terbang itu. Itu hal biasa yang bisa Vito saksikan kapan sajaa. Ia justru sibuk memperhatikan wajah samping Ratu yang masih asyik mendongak, menatap laju pesawat terbang di angkasa lepas hingga lambat laun berubah menjadi titik kecil di langit sana—menikmati senyum perempuan itu, menikmati wajah sampingnya yang selalu saja memesona.

"Pilotnya tidak tahu arah, ya, Mas, ya? Cuma dikasih pilihan ke kanan atau ke kiri, masa dia lurus terus," tutur Ratu lantas menurunkan kakinya hingga duduk di atas kap mobil—tempat Vito duduk dengan tenang. "Gambar apa, sih, Pak? Serius sekali saya lihat-lihat"

Vito mengangkat kertas gambarnya. Mengarahkannya pada Ratu sambil tersenyum lebar. Yang diberi tunjuk justru mengerutkan alisnya dengan tatapan tak paham.

"Hah, kok, gambarnya gitu?" tanya Ratu. Ia melihat hasil gambar kekasihnya itu sedikit aneh, tidak, hasil gambaran Vito tetaplah bagus—seperti biasanya. Namun, sedikit tidak Ratu mengerti kali ini. Ada seorang pria tengah menghadap ke arah wanita dewasa dan anak kecil kucir kuda sembari melambaikan tangannya dengan lalu lalang manusia lain sebagai pelengkapnya. "Ini—Bapak lagi mau pergi lalu diantar anak istrinya, ya, Mas?"

Vito mengangguk. "Iya," Vito menutup sketchbook miliknya. Menatap iris madu yang Ratu punya. "Ini sarat makna, Nduk. Terminal, bandara, stasiun, bahkan rumah sekalipun bisa menjadi media pemisah buat orang-orang. Kaya Bapak ini. Dia pergi, anak istrinya mengantar. Tapi, ia tidak pernah berjanji untuk pulang ke rumah yang keluarganya tinggali, karena memang tidak ada yang tahu ke mana mereka akan kembali nantinya—ke rumah di mana anak istrinya ada atau justru ke rumah yang sudah Tuhan siapkan di sisinya"

"Kok, serem sekali, sih, Mas, makna lukisannya kali ini?" Ratu memberengutkan bibirnya, "Saya jadi takut. Besok—kamu juga terbang ke Alor 'kan? Ini—bukan firasat 'kan, Mas?"

"Hust, mulutnya kamu itu" Vito lekas menempelkan telunjuknya di ujung bibir Ratu sebentar. Mengubah posisi mereka hingga saling menatap, menyelami iris cokelat madu yang selalu mampu membawanya tenggelam pada lena tatapan yang menenangkan. "Jelek sekali, ya, Nona ini mulutnya. Saya Cuma menggambar. Cuma memberi tahu kamu kalau enggak selamanya kata pergi punya lawan kata kembali. Dalam hal ini, kembali ke rumah yang di mana kita bisa selalu ketemu orang-orang yang kita sayang, ya, Ra. Karena bisa aja, kata pulang yang dimaksudkan itu, ya, pulang ke tempat di mana kita seharusnya ada. Jadi, kalau nanti saya pergi dan enggak kembali lagi, saya mau kamu bisa legawa, Ra. Bukannya berdoa yang jelek-jelek ke diri sendiri, tapi namanya jodoh, maut, sama rezeki itu enggak ada yang tahu 'kan, ya, Ra? Haha, kalau bisa milih, sih, saya selalu pengin jadi sama kamu terus. Kamu juga iya enggak?"

Ratu, dalam segala keterkesimaannya mendengar tutur kata Vito yang penuh ketenangan itu, menganggukan kepala sebagai bentuk pengiyaan. "Iya. Saya juga mau gitu terus." Kemudian meringsek masuk, mendekap erat-erat tubuh Vito yang selalu saja wangi dan menenangkan.

"Mas sayang kamu. Mas akan jaga kamu, jaga kita juga. Bantu, Mas, ya, Nduk?"

Hah—sial! Ratu terjaga dari tidurnya setelah puas menuntaskan halaman paling manis dari kumpulan kenangan usangnya bersama pria kaku sedikit romantisisme yang pada hari pertama kepulangannya ke tanah air telah menorehkan ruam pada rindunya yang sejatinya begitu menumpuk-numpuk. Membuat pening di kepalanya kian menjadi-jadi, membuat rumpun-rumpun kekecewaan itu memenuhi relung jiwanya yang telah kebas sejak beberapa hari lepas—setelah Vito memberinya vonis mati dengan kabar paling mengecewakan yang pertama kali didengarnya dari lembab bibir kekasihnya yang terpuja.

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now