Bab 31. Hingga Ujung Waktu

811 92 93
                                    

Dahlah mau meninggal gara-gara gesrek dulu saia. Yesika enggak sopan banget aplod tiktok begitu🏳️🏳️

...

Matanya menelanjangi setiap sudut kamar yang hanya terdiri dari warna hitam dan putih—dinding yang bersih, bingkai foto yang terpajang cantik di wajah-wajah kamar, serta dua buah buffet yang masing-masing terletak di sebelah ranjang—semuanya, semuanya seolah-olah tengah berusaha Chika lucuti pada hari terakhir dia berdiam di rumah ini, di rumah suaminya yang sayangnya terlalu banyak menyimpan cerita di kepalanya—tawa dan duka, semuanya ada di rumah dua lantai yang telanjur nyaman ia jadikan tempat pulang.

Di atas kepala tempat tidur, ada foto pernikahan mereka yang terpajang besar di sana—dengan bingkai berwarna abu-abu yang membedakan foto itu dengan semua pigura yang terpajang di rumah ini. Katanya, karena foto itu yang paling istimewa, hanya akan ada itu yang menghiasi kamar mereka, sampai kapan saja.

Di sisi dinding yang lain, ada beberapa lembar gantungan foto hasil ultrasonografi yang menyatu dengan dinding putih di sana, membuat Chika—tersenyum tipis pada akhirnya.

Hatinya teriris, pilu melihat semuanya hingga mata cokelat yang selalu saja magis itu disesaki perih yang teramat pedih. Ternyata, luka-luka itu masih ada, selamanya. Sekuat apa pun dia berusaha bersikap biasa saja atas kepergian anaknya, semuanya tetap tak akan bisa sama.

Dengan perlahan ia berusaha berdiri. Menghampiri dinding seputih pualam di sisi kanan kamar, berniat mengambil semua hasil USG yang terpampang di dinding kamar mereka. Dia ingin membawa sesuatu dari sini—yang sekiranya mampu membuatnya merasa ada Vito di sebelahnya, selama-lamanya.

"Yang itu jangan diambil"

Chika terperanjat, tatkala suara berat Vito menggema dari ambang pintu. Pria itu sudah rapi dengan kemeja hitam seperti biasanya, berdiri menyandarkan sebelah lengannya pada daun pintu kemudian mendekat ke arah ranjang. Melirik koper kepunyaan Chika yang belum wanita itu tutup, lalu menghembuskan pelan napasnya.

"Kenapa baju-baju Adik mau dibawa semua?" Vito mengambil satu pakaian bayi yang ada di lapisan paling atas, memandangnya lamat-lamat. "Dia punya saya. Dia harus sama saya"

"Tapi dia juga punyaku, Mas." Perlahan, bola mata Chika bergerak juga. Mengikuti langkah suaminya yang kini berpindah posisi ke sebelahnya, merebut pelan apa yang Chika genggam. "Aku—ibunya"

Vito mengangguk. Menundukkan pandangan untuk memandang foto hitam putih yang ada di tangannya. "Saya tahu." Menghela napas lagi, menyodorkannya kembali kepada Chika. "Sisakan satu atau dua untuk saya jaga. Untuk saya ingat-ingat kalau saya pernah sebahagia itu menunggu seorang anak—dan juga sebahagia itu hidup sama kamu"

Ada yang melukai hati Chika saat itu. Tidak, bukan karena keputusan berpisah yang telanjur lelaki itu buat pada hari ini. Melainkan karena segudang rasa bersalah yang terus saja mencekik lehernya hingga sesak seluruh dadanya, seluruh jiwanya. Seumur-umur mengenal pria bernama belakang Madaharsa di hadapannya, baru sekali ini ia melihat luka-luka yang begitu nyalang dan besar melalui sorot matanya yang melindap teduh. Seolah-olah memberitahukan kepada lawan bicaranya, jika apa yang selama ini ia sembunyikan, tak lagi bersedia dada sembunyikan. Terlalu banyak, terlalu membuat sesak.

Suara tertutupnya koper itu mengiringi menegaknya punggung Vito yang pada akhirnya ikut serta membereskan barang-barangnya. Membuat Chika dengan cepat membuang wajah, tak ingin menunjukkan air mata di depan suaminya, lagi.

Sudah cukup semua air mata yang ia keluarkan untuk laki-laki ini.

Sudah cukup semua sedih yang ia pelihara untuk sesuatu yang bersikeras Vito lepas. Tak ada gunanya lagi semua kesedihan yang ia rayakan, sebab pada akhirnya Tuhan tak akan memuarakan kisah mereka pada akhir yang bahagia.

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now