Epilog : Membuka Cerita

1.8K 117 191
                                    

Let's see our Original Soundtrack

Geisha ft Iwan Fals — Tak Seimbang
...

Orang-orang bilang, setiap manusia terlahir dengan garis takdirnya masing-masing. Kita tidak bisa memaksakan akan terlahir seperti si bahagia dan menolak lahir sebagai di paling sering dikecewakan.

Orang-orang juga bilang, setiap manusia selalu lahir dengan kesalahannya masing-masing. Hampir tidak pernah ada manusia yang tak pernah membuat kesalahan sepanjang kehidupannya, sebab itulah kodrat kita sebagai manusia biasa—yang tak bisa maksum dari dosa. Oleh hal itu juga, setiap orang selalu diberikan kesempatan kedua oleh Yang Mahakuasa, agar setelah sadar, kita mampu memperbaiki segalanya.

Itu juga yang pada akhirnya kupegang teguh hingga—sebelum ini. Sebelum hari di mana aku memutuskan untuk menjadi apati terhadap segala hal yang kuamini.

Tidak, tidak. Aku tidak seapati itu juga, kok. Hanya saja—aku berusaha menjadi sedikit realistis dalam menggantungkan harapan dan mempercayai apa yang orang-orang katakan. Maksudku—ya, aku percaya aku berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk segala bentuk kesalahan di masa laluku yang terlalu keparat itu. Berhak untuk mendapatkan maaf dari pria baik hati yang diam-diam namanya masih sering kucuri untuk kulangitkan bersama kumpulan doa yang menggema di semesta yang maha luas ini, berhak untuk mencecap bahagia bersama keluarga kami nanti. Namun, bagaimana jika kesalahanmu itu sudah terlalu jauh ditaburkan oleh langkah-langkah yang bahkan sejatinya masih diragukan itu?

Benar, manusia memang memiliki kesempatan kedua, ketiga, keempat, bahkan kelima dalam kehidupannya untuk terus berubah menjadi pribadi yang kian baik dari sebelumnya. Namun, bukankah setiap manusia juga memiliki batas sabar dan toleransinya masing-masing? Kita memiliki kesempatan kedua, tetapi belum tentu yang kita cederai jiwanya itu memiliki kelapangan hati dan jumlah sabar hingga kita bersedia mengambil kesempatan kedua itu, apalagi sampai pada kesempatan ketiga dan seterusnya—belum tentu bisa.

Haha, aku hanya mampu mentertawakan segala narasi bodoh yang baru kutuliskan pada lembar demi lembar kertas usang ini. Hanya mampu mencaci maki pemikiran, yang seharusnya, mulai muncul jauh sebelum hari ini—jauh sebelum hari di mana aku memutuskan untuk mengulang kembali cerita-cerita lama antara aku dan manusia bernama Amiruddin pada halaman kesekian dari cerita ini. Harusnya aku tahu, jika semua manusia memiliki batas sabarnya masing-masing, memiliki batas toleransinya sendiri-sendiri, yang barangkali, jika hari itu aku sudah menyadari semuanya, maka cerita ini tak akan bermuara pada penyesalan yang meluluhlantahkan. Tak akan berakhir pada kepahitan yang menikam dan menenggelamkan.

Menolehkan kepala ke arah jendela di sisi kanan, menyaksikan gejuju awan di angkasa lepas yang tengah menurunkan pasukannya ke bumi Jogjakarta yang selalu saja damai dengan segala kepunyaannya, pada akhirnya, membuatku memejamkan mata juga. Membiarkan dingin udara akibat gerimis yang sampai ke dalam tempatku duduk kian rekat memeluk tubuh, membiarkan bertumpuk-tumpuk kenangan membunuhku untuk kesekian kalinya, lagi dan lagi.

Ini—sudah tahun kelima semenjak kami, aku dan Mas Vito, sepakat untuk memulai semuanya kembali. Sudah sampai pada tahun kelima juga cerita kami bergulir dengan semua romantika yang penuh romansa suka duka yang seharusnya sama-sama kami nikmati, sama-sama kami senangi.

Iya, seharusnya.

Karena pada akhirnya, hanya ada aku yang harus bersusah payah menamatkan cerita ini, seorang diri.

"Mama."

Suara itu memutus lamun panjangku yang terlampau lama. Menolehkan kepala ke ambang pintu kayu yang baru saja berderit disusul masuknya pencahayaan remang yang menyelinap ke dalam kamar gelapku, menemukan seorang anak kecil berdiri dengan berpegang pada kenop pintunya.

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now