Bab 28. I Love You but I Let You Go

758 96 87
                                    

"Mir, let's break up. Let's make a perfect story in another way"

Kaki Amir seolah-olah langsung tertarik ke arah bawah. Menginjak pedal rem dengan tiba-tiba hingga membuat tubuh keduanya terdorong ke arah depan. Ada keterkejutan yang memenuhi saraf-saraf kepala pria itu saat sang Puan mengatakan kalimat tersebut pada akhirnya. Menolehkan kepala, menatap Chika yang masih berusaha menetralkan degup jantungnya.

"Give me a reason."

"Kita salah—aku udah pernah bilang itu 'kan?"

"Kalau kamu tahu kita salah dari awal, kenapa kamu juga menikmati kesalahan kita selama ini? Kenapa enggak dari dulu kamu ngajak aku udahan aja waktu aku belum berharap setinggi ini sama hubungan kita?" Amir melepas cengkraman tangannya pada kemudi. Mengungkung Chika yang sudah menempelkan punggungnya pada pintu di belakang tubuhnya, menatap perempuan itu dengan kilatan mata yang masih dipenuhi bias kemarahan. "Jawab aku, Yessica. Kenapa kamu ngajak aku udahan tiba-tiba gini? Tasya sama Eli ngedoktrin kamu apa, hn?"

"Jangan bawa-bawa Tasya sama Eli. Ini keinginan aku, Mir—benar-benar keinginan aku" Chika mendorong pelan bahu Amir dengan ujung jemarinya. Tak sanggup lagi ditikam tajam mata pria itu yang untuk pertama kalinya mengilatkan segala kemarahan dan ketidaksukaan. "Ini—keinginan aku. Benar-benar keinginan aku"

"Ya terus alasannya apa? Jangan kasih jawaban yang aku enggak butuhin, jangan kasih jawaban yang aku udah tahu alasannya apa!" Amir meninggikan suara, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun keduanya saling mengenal. Memukul dashboard mobilnya hingga bahu ringkih Chika terlonjak karena keterkejutan, lalu menangkup kasar wajah Chika dengan telapak tangannya. "Kamu jatuh cinta sama abangku, hn? Iya?"

"Mir, sakit. Lepasin tangan kamu" Chika berusaha menyingkirkan tangan Amir dari wajahnya, "Aku enggak kenal Amir yang kasar gini"

"Jawab aku dulu!" Sekali lagi, Amir meninggikan suara. Menangkup pipi Chika semakin kuat. "Kenapa, Chika? Kenapa?"

"Aku hamil."

Ada yang luruh di dalam hatinya, ada yang layu di dalam dadanya sana hingga padam segala amarah yang ia punya. Berganti dengan ribuan rasa yang tak kuasa ia jabarkan, melumpuhkan nadi-nadinya yang tiba-tiba saja merasa kekeringan. Bahunya jatuh, punggungnya tak lagi mampu menegak utuh. Berganti dengan bantingan tubuh pada sandaran bangku kemudi, meraup kasar wajahnya hingga meremas rambutnya yang terasa panas karena kepulan emosi di kepala.

"Gugurin anak itu—dia enggak akan pernah bahagia kalau terus-terusan hidup"

"Amir!"

"Apa?" Amir menolehkan kepala, menatap iris Chika setajam yang ia bisa. "Dia enggak akan punya ayah."

"Dia punya ayah!"

"Siapa? Vito? Kamu yakin dia bakal percaya kalau anak itu anaknya setelah tahu semua kebusukan kita? Kamu yakin, Yessica?"

Chika memalingkan atensinya sebentar. Menyeka titik air matanya yang sudah merembes sejak tadi. "Ada atau enggak pengakuan dari ayahnya, dia tetap berhak hidup"

"Dan kamu pikir aku akan semudah itu lepasin kamu? Enggak akan, Chika. Enggak akan"

"Mir, jangan aneh-aneh. Turunin aku sekarang"

"Kalau aku enggak bisa dapetin kamu, berarti Vito juga enggak boleh dapetin kamu" Amir menginjak pedal gas di bawahnya, memacukan kembali mobil yang mereka tumpangi dengan kecepatan tinggi.

"Mir, jangan gila! Ini rame banget! Kita bisa celaka!"

"Itu lebih baik. Seenggaknya di antara aku atau Vito benar-benar enggak ada yang bisa dapetin kamu" Amir menguatkan cengkramannya pada kemudi. Gemertuk giginya saling beradu, dengan mata yang berkilat-kilat oleh semua amarah dan obsesi yang lelaki itu punya. "Kamu yang bikin aku kaya gini, Chika. Jadi, kamu juga yang harus bertanggung jawab buat semuanya"

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now