Bab 11. Vito dan Amarahnya

626 93 56
                                    

"Apa itu artinya kalau saya menyuruh kamu untuk membuat dia pergi, kamu akan dengan senang hati menjalankan itu?"

Tidak ada jawaban—kembali tidak ada jawaban. Hanya ada adu tatap antara dua manusia yang masih sama-sama mencoba berdamai dengan kesalahan mereka. Cukup lama, cukup membuat debaran di antara keduanya semakin kentara.

"Chika?"

"Tentu." Chika melengoskan wajah, "Tentu sangat bersedia."

Ada yang mencelos, ada yang tersayat, ada yang tidak bisa ia jabarkan tatkala kalimat itu keluar tanpa jeda dan kesulitan dari tipisnya bibir sang Puan yang duduk di seberangnya. Ada segenang kekecewaan yang begitu sulit ia abaikan, ada selaksa luka yang tak lagi mampu ia sembunyikan.

Semuanya—terlihat. Memancar dari bulat hitam matanya yang tiba-tiba saja melindap, digantikan dengan gelengan kepala penuh ketidakpercayaan.

"Dia—anak kamu."

"Anak kamu. Cuma anak kamu" Chika menarik napasnya sekali. Coba melegakan sesak yang entah kenapa bisa hadir di dalam dadanya, menghimpit hingga sempit sekali. "Aku udah bilang aku enggak pernah mau ada anak ini. Aku juga udah bilang 'kan kalau adanya dia itu cuma karena kesalahan kamu? Terus, kenapa aku harus ikut-ikutan pengin dia ada? Kamu pernah bayangin enggak gimana tersiksanya aku gara-gara dia? Gara-gara hubungan yang sama sekali enggak pernah aku mau? Enggak 'kan? Kamu enggak pernah membayangkan itu 'kan, Mas?"

Vito menjadi terbungkam. Salivanya meluncur dengan keras hingga menggerakkan jakunnya naik dan turun selama beberapa kali. Remasan jari-jarinya pada kepalan tangan cukup menggambarkan betapa inginnya lelaki itu menjawab pertanyaan Chika dengan caranya memandang selama ini—benar-benar ingin.

Namun, sekali lagi, Vito adalah lelaki lemah jiwa yang tak akan pernah sanggup mengutarakan semua perasaannya, semua warna emosinya. Hingga akhirnya hanya ada desah napas kasar yang ia loloskan, menundukkan pandangan selama beberapa jenak dan beranjak pergi—tanpa kata, tanpa suara. Mengembarakan rasa sakitnya, mengembarakan celosan dadanya yang menciptakan luka-luka dan nestapa.

Meninggalkan Chika yang juga meluruhkan air matanya.

...

Setiap kali terluka, dia selalu dipaksa baik-baik saja. Setiap kali mendapat caci maki ataupun kalimat tak mengenakkan telinga, ia selalu dipaksa memaafkan dengan segala kelapangan jiwa. Tak boleh menunjukkan rasa marah, tak boleh menunjukkan ketidaksukaan akan tindak tanduk orang lain di sekitarnya sekalipun itu membuat jiwanya cedera.

Benar, memang benar jika apa yang ditanamkan oleh mendiang sang Mama mengakar kuat di dalam alam bawah sadarnya sana. Membuat dia menjadi pria lapang dada akan segala bentuk ketidakadilan atau kebrengsekan dunia, membuatnya menjadi Vito yang selalu legawa atas segala hal yang Tuhan pilihkan untuknya. Namun, karena hal itu pula yang pada akhirnya membuat Vito menjadi pria lemah jiwa yang tak pernah bisa mengutarakan warna emosinya pada sesama. Selalu menunjukkan kepura-puraan pada dunia terkait apa yang ia rasa, yang kemudian membuatnya menjadi manusia pendiam yang sedikit kata dan jarang bicara—kecuali pada orang-orang tertentu, yang pada merekalah semua cerita Vito bermuara.

"Saya baru tahu kalau Bapak merokok"

Suara itu membuyarkan Vito dari lamunan panjangnya yang diiringi kepul asap rokok pertama yang ia isap setelah sekian lama tak menyentuh batang tembakau tersebut. Membuat kepala pria itu menoleh, lantas tersenyum tipis menyambut kehadiran mahasiswa tingkat tiga di hadapannya. "Iya, Zee. Sedang ingin merokok lagi hari ini," tuturnya mematikan putung rokoknya di asbak depan. "Gimana?"

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now