Bab 10. Melebur

512 91 14
                                    

Dalam perjalanannya, manusia kerap dipertemukan dengan segala bentuk ketiba-tibaan yang menyandera gegap gempita langkah dalam menapaki riuh sesak kefanaan dunia yang seolah tiada habisnya. Ada saja ritme tiba-tiba yang pada akhirnya menimbulkan gelombang keterkejutan saat jalan takdir tidak berjalan sedinamis yang ada pada isi kepala—yang pada akhirnya menimbulkan ketidaksiapan serta semua bentuk kekecewaan yang barangkali tertinggal di dasar cangkir harapan yang mengendap tanpa bisa diapa-apakan.

Akan ada hirup-hirup kepengapan yang memenuhi dada yang semula dipenuhi harap, tatkala semua perencanaan penuh kebahagiaan yang semula disusunnya sedemikian rapinya harus hancur dan meluruh karena permainan semesta yang lebih banyak tak terduganya—kadang menerbangkan hingga lupa cara agar tak melayang, lalu menjatuhkan hingga luruh dan rubuh.

Semua pengandaian yang pernah berkecamuk di dalam kepala mendadak buyar, kala satu noktah hitam mencederai ribuan harap yang pernah ia—atau mereka lebih tepatnya—angkasakan di angkasa serta langit-langit mimpi yang membumbung tinggi.

"Saya menghamili Chika—kekasih kamu."

Amir rasanya hampir lupa cara bernapas tatkala suara berat Vito lagi-lagi mendengung di dalam kepalanya. Menyayat sisi-sisi jiwanya hingga menimbulkan bilur yang tak terhitung jumlahnya-menikam dirinya melalui kata-kata, membunuhnya lewat bicara tanpa nada.

Pengkhianatan, luka-luka, serta kekecewaan—hah, Amir benci masih diperkenankan mengingat semua muara nestapa yang Tuhan hadiahkan.

"Saya—saya enggak sengaja, Mir. Saya khilaf."

Persetan! Khilaf macam apa itu hingga mengkhianati adik sendiri?

Sekarang, tidak ada hal lain yang ingin Amir lakukan selain mengoyak-oyak rajutan takdir yang Tuhan tuliskan untuknya—sama sekali tidak ada, kecuali jika selain itu mampu membawa Yessica kembali ke dekapannya.

"Sayang..."

Amir memejamkan matanya erat-erat. Lembut sentuhan tangan Chika masih membekas di leher serta bahunya yang kuat, membersamai lembut suara wanita itu yang berbisik lirih di sebelah telinganya.

"Kok, belum tidur?"

Gelengan lembut perempuan itu, tumpuan dagu pada bahu kanannya yang ternyata masih sama kuatnya merekam bekas tubuh sang Puan—masih bahunya simpan dengan begitu baik.

"Kok, kamu masih di luar?"

"Sengaja. Biar dicariin sama kamu"

Hari itu, pada tanggal kesepuluh di bulan Januari—tepat tiga tahun keduanya menjalin kasih, Amir dan Chika sama-sama menatap hamparan luas debur ombak di Gili Trawangan yang begitu memesona. Menarik lembut tangan sang Puan, membiarkan Chika duduk di sebelahnya lalu merengkuh pinggang perempuannya dengan begitu lembut dan rekat.

Hah, itu sudah lama-cukup lama jika untuk diingat-ingat kembali sebagai wujud pemanis akan pahitnya seduhan cerita yang ia dan Chika racik dengan tak sempurna-sudah cukup lama, jika untuk digunakan sebagai penghiburan atas segala ketidakmampuan mewujudkan harapnya yang membuat pengap.

Sekali lagi, Amir menghela panjang napasnya. Menyugar helai rambutnya yang baru saja ia pangkas sebagaimana ritual patah hati orang-orang kala cintanya tak lagi bisa dilanjutkan dengan iringan kebersamaan.

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now