Bab 24. Let's Break Up!

613 92 87
                                    

Dan aku tak punya hati untuk menyakiti dirimu

...

Kabut tipis masih mengakar rendah di bawah naung langit yang kemerahan. Sisa-sisa air hujan itu masih menggantung di ujung dedauan sebelum akhirnya turun menyentuh tanah basah untuk membagi hara kepada tetumbuhan. Mayangda terbangun, arunika kuning keemasan menyingkap tabirnya di ufuk timur sana. Sedangkan koloni burung-burung mulai bergerak rendah meninggalkan sarang, semakin meninggi mencari jejak-jejak penghidupan sebelum akhirnya kembali lagi ke peraduan saat merah merekah di barat sana nanti.

Dia—tidak banyak bicara. Hanya berdiri di balik jendela besar kamar hotel yang langsung menghadap jalanan padat Kota Jakarta pada pukul delapan pagi. Meletakkan jemarinya di kacanya yang transparan, menggerayangi beberapa sisa-sisa ketidakjelasan yang telah begitu sialannya masuk ke dalam kepala. Menciptakan lubang-lubang kekosongan sekaligus penyesalan yang entah kenapa baru saja hadir saat semua kesia-siaan itu telah di depan mata, saat bayang-bayang kecewaan itu telah jelas menggantung di kantung mata.

Hah—Chika hanya bisa menghela napasnya. Menjatuhkan pandangannya ke arah bawah di mana kaki tanpa alas itu bergerak-gerak jemarinya. Menghitung mundur semua kehancuran yang ia renda sendiri dengan setumpuk kata maaf yang lembab bibirnya getarkan.

"Kalau butuh apa-apa yang sekiranya emang harus saya banget yang ngelakuin, kamu bilang aja. Telepon. Saya usahakan pulang meski Cuma sebentar"

Suara lembut itu entah kenapa begitu senang menari-nari di balik kepala. Menelusup di balik celah-celah penuh rasa bersalah yang mengakrab luka hingga akhirnya memuarakan Chika pada pojok dunia yang penuh keterasingan. Membuat dadaya kian terasa berat, membuat bahu itu naik turun juga pada akhirnya karena ledakan sesak yang membuat kembang kempis.

"Because God gave me you, I should take care of you. As good as possible. Bahagianya kamu, susahnya kamu, itu semua tanggung jawab saya sebagai suami kamu, Ca. Apa pun akan saya lakukan kalau itu tentang kamu"

Semesta, tolong biarkan suara itu ingkah dari gendang telinganya barang sejenak saja. Jangan buat kepala Chika terasa berat hingga ingin pecah karena ditekan rasa bersalah yang akan terus saja mampir mengiringi semua tutur lembut penuh ketulusan yang Vito punya.

"Kenapa udah bangun?"

Chika memejamkan mata saat rasa hangat sekaligus ngilu itu singgah di dalam dada—bersamaan dengan menelusupnya lengan kokoh Amir di lengannya. Memeluk pinggang Chika, menopang dagunya di bahu yang tak ditutupi apa-apa.

"Udah siang" Chika menjawab rendah. Sebelah tangannya yang tak bertumpang tindih dengan lengan kokoh Amir ia angkat rendah untuk mengusap rahang lelaki itu. "Mau sarapan pakai apa? Biar aku pesenin"

Amir menggeleng. "Enggak usah. Aku masih kenyang lihat kamu"

Chika hanya mengangguk. Kemudian membiarkan suasana tenang membalut mereka pagi itu. Sama-sama menutup lembab bibirnya, membiarkan kecamuk perasaan berlalu lalang di dalam kepala—terus menerus.

"Mir..."

"Hum?"

"Kita membuat kesalahan—sekarang. What should we do?"

Amir langsung membuka mata. Punggunya menegak seiring dengan lepasnya lengan kokohnya yang melingkari pinggang Chika. Membalik tubuh perempuan itu hingga mata mereka saling bersitatap. "Maksudmu?"

"We make a mistake, we are the biggest bastard. Aku menyakiti suamiku, kamu menyakiti Flora. What should we do?"

Untuk pertama kalinya selama perempuan itu menikah dengan kakaknya, baru kali ini Amir melihat kekhawatiran yang menyalak-nyalak dari mata Chika yang tergenang air mata. Remasan pelan yang jemari perempuan itu berikan pada lengan Amir yang mengungkungnya membuat lelaki itu semakin yakin jika Chika benar-benar tidak main-main dengan semua tatapnya baru saja.

PRESTIGE [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora