Bab 01. Hirup Harap

1.3K 116 10
                                    

Dia sedang menghirup harap. Pada pelataran garis takdir yang Tuhan tuliskan di lembar ceritanya yang baru saja akan menuju babak paling baru. Tempias-tempias hujan yang merebak masuk ke emper-emper toko yang sudah sangat akrab dengan retina matanya turut serta membasuh kaca mobil yang ia pandangi sedari tadi, sebelum akhirnya merelakan diri untuk hilang dan melebur tersapu wisper mobil yang bergerak perlahan pada benda bening penuh transparansi yang menyekati netra dengan berbagai benda asing yang terbawa angin masuk ke dalam mata seandainya kaca itu tidak diciptakan. Satu dua helaan napas berkali-kali lolos dari hidung bangir yang pada pagi hari ini ia sumpali tissue kering karena flu parah yang menyerang dirinya sejak seminggu lepas. Membiarkan sakit itu memperparah kondisinya selepas kejadian penuh kesan kelam yang ia lakukan kepada mahasiswinya dua minggu berselang. Mengoyak-oyak fokusnya agar bercabang antara kesehatan, pekerjaan, serta gumul permasalahan.

Vito tahu, selama menjadi manusia tidak akan pernah ada cerita yang katanya biasa-biasa saja. Tidak akan ada juga deret-deret abstrak yang Tuhan tuliskan tanpa mempertimbangkan apa dan bagaimana dampaknya kepada seluruh umat manusia, selain sebagai penguat kepercayaan akan segala ketetapan-Nya dan menguatkan bahu-bahu hamba-Nya yang kerap merapuh karena ujian yang Dia anugerahkan—dan barangkali, sekelumit permasalahan yang menimpa Vito dan Chika kali ini, adalah cara Tuhan menegur dirinya agar tak lagi mereguk dosa melalui botol-botol memabukan yang bahkan sebelumnya belum pernah ia jamah juga.

Rem kaki yang sedari tadi ia permainkan akhirnya ia injak juga. Membuat cumbu roda mobil yang ia kemudikan berakhir usai di halaman rumah yang sudah sekian tahun menjadi tempatnya berpulang pada beberapa kesempatan, sebelum akhirnya turun dan membuka gerbang setinggi dua meter itu dengan tangannya sendiri. Dalam waktu-waktu tertentu, kepulangannya memang acapkali tanpa memberi kabar. Kedatangannya lebih sering membersamai larut ketimbang memburu waktu lebih dulu agar mampu bersenda gurau bersama keluarganya yang barangkali merindukan eksistensinya sebagai penggenap ganjil yang Tuhan berikan.

Vito Lakeswara Madaharsa, pria menyedihkan berusia dua puluh tujuh tahun yang harus terlunta-lunta dalam kehangatan keluarganya yang selalu saja dirinya anggap penuh batas serta sekat.

"Assalamualaikum"

Pintu itu terbuka. Dingin ruang tamu tanpa aba-aba menyergap ringkih tubuhnya yang seharian dibalut lelah serta keringat. Mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari-cari eksistensi satu manusia yang dapat ia yakini belum mampu menjemput lelap sekarang ini.

"Mas..."

Pandangannya terlempar ke arah kanan. Membersamai nyala terang lampu ruang tamu yang baru saja dihidupkan oleh seorang wanita dengan surai sepanjang lengan yang selalu saja terlihat halus dan lembut. Di sana, ada sang Mama yang tengah mengulum senyum dengan penuh teduh.

"Selamat malam, Ma" Vito menyeret tumitnya. Meraih punggung tangan perempuan berharganya lalu menciumnya takzim. "Maaf enggak kabar-kabar dulu kalau mau pulang"

Perempuan itu—Mamanya, hanya tertawa dalam balutan gaun tidur yang membuat dirinya semakin terlihat anggun. "Kaya biasanya ngasih tahu aja kalau mau pulang"

"Ah, haha"

Hanya seperti itu—sejak dulu. Tidak ada rengkuh hangat atau apa pun yang dianggap sebagai upacara penyambutan kepulangan seorang anak laki-laki yang lama melakukan kelana di atas dunia yang selalu menuntut kata tidak apa-apa. Berujung dengan lelapnya mata mereka berdua, di bawah naung lampu kamar masing-masing yang tersekat dinding tebal—seperti cerita-cerita keduanya, yang bahkan mungkin tak akan pernah dilelehkan kembali.

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now