Bab 17. Pudar

622 91 36
                                    

Selop kepunyaannya berirama mencumbu kusamnya lantai rumah sakit yang dirayapi sepi. Anin, Boby, dan Tuan Hendarto masih setia duduk di bangku tunggu yang terbuat dari besi, sedangkan ia hanya bolak-balik tanpa tahu kapan hendak menghentikan langkah kaki. Ada gusar yang menyergap hati, ada luka yang tak bisa ia pungkiri saat pengang telinganya lagi-lagi dijejali oleh kalimat demi kalimat yang menyerupai vonis mati.

Memalingkan kepala ke arah pintu berwarna abu-abu di ujung lorong, matanya lagi-lagi diperciki api yang membuat pedih tak tertolong.

Di sana—ia menemukan Chika bersandar di tubuh sang Mama. Wajahnya nampak pias ditempa sinar lampu yang jatuh tepat di depan muka, yang lagi-lagi memaksa Vito menjatuhkan pandangan ke ujung selopnya, memijit pangkal hidungnya yang terasa pegal menahan desakan air mata yang meminta dikeluarkan.

"Kamu enggak mau menemui dia?" Tuan Hendarto menyebelahi menantunya, bertanya dengan nada rendahnya, "Barangkali—dia butuh kamu."

Vito menenggakkan kepala. Mengumpulkan udara sebanyak-banyaknya. "Maaf, ya, Pa, saya tidak bisa memenuhi janji saya."

"Enggak apa-apa, Nak. Ini—musibah. Siapa yang mau?" Direngkuhnya bahu kokoh pria itu, menepuk-nepuknya beberapa kali. "Masuk dulu. Temui Chika. Papa yakin dia butuh kamu"

Vito menganggukan kepala. Menyeret tumitnya untuk mendekat ke pintu itu lalu memperlebar celahnya yang semula hanya sanggup diintip menggunakan mata. Memilih memakukan diri terlebih dahulu, sampai akhirnya sang Mama mertua beranjak berdiri—memberi ruang bagi anak dan sang Menantu untuk saling peluk, untuk saling rengkuh.

"Mama titip Chika, Nak." Inneke, wanita itu, mengusap lembut bahu kiri menantunya sambil berbisik lirih. Sebelum akhirnya ingkah dan menghilang. Memberi ruang pada dua manusia yang sama-sama terluka itu untuk saling ada dan bercerita.

"Mas..."

Tepat setelah Vito mengusaikan langkah kakinya di sebelah ranjang, perempuan itu langsung menubrukkan diri ke pelukannya. Melingkarkan tangan di pinggang Vito, menenggelamkan wajahnya di perut berbentuk kotak-kotak yang Vito punya. "Maaf, maafin aku."

"Sshht, enggak apa-apa. Enggak apa-apa, Ca. Ini—bukan salah kamu" Vito balas memeluk punggung itu tak kalah erat. Mengusap-usap punggung yang tertutup helaian rambut lebat Chika kemudian menjatuhkan ciuman di puncak kepala sang Puan. "Jangan nangis, Sayang. Jangan nangis."

"Adek marah 'kan sama aku, Mas, makanya dia pergi? Adek enggak suka sama aku."

"Caca, enggak gitu, Sayang, enggak gitu." Vito merendahkan tubuhnya. Berlutut di sebelah brankar tempat Chika duduk kemudian menangkup wajah pasi itu dengan kedua tangan. Menggelengkan kepalanya beberapa kali secara perlahan. "Ini udah yang paling baik buat kita. Ada—ada rencana lain yang Tuhan pilih buat kita, Ca. Tuhan sayang sama Adek, makanya Tuhan ambil Adek lagi."

"Tapi aku udah sayang sama Adek." Chika langsung meringsekkan badan, merangkulkan lengan di leher sang Tuan sekuat dan seerat yang ia bisa, menangis di bahu kokoh lelaki itu. "Aku sayang Adek, Mas."

"Tuhan lebih sayang sama dia, Sayang," tutur Vito mencium pelipis istrinya berkali-kali. "Ikhlasin, ya, Ca? Kasihan Adek kalau kamu gini terus. Nanti—dia ikut sedih di atas sana." Vito angkat wajah itu hingga bersitatap dengannya. Menyeka linangan air mata di pipi sang Puan kemudian menguntaikan senyum sepedih apa pun batinnya sekarang ini. "Kita berdoa lagi, kita usaha lagi. Percaya sama Mas, kalau apa yang Tuhan kasih, itu yang paling baik buat kita sekarang."

Diakhiri dengan ciuman di kening istrinya, menarik lembut sang Puan agar jatuh ke dalam dekapannya—semakin erat, semakin kuat. Seolah mengatakan kepada Chika jika dunia akan baik-baik saja setelah ini, jika ia tidak akan pernah meninggalkan Chika sendiri.

PRESTIGE [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora