Bab 07. His Queen

574 94 20
                                    

Dia—baru saja kembali. Dari serumpun renungan panjang di bawah temaram sinar rembulan yang menyinari kepala-kepala berbalut kopyah hitam yang bertengger di atas mustaka. Kaki berlapis selop itu masih menjejaki jalan setapak yang di tengah-tengahnya ditumbuhi rerumputan liar yang telah menjadi basah karena cumbu rayu embun yang entah mengapa sudah menjamah tetumbuhan saja. Samar-samar, bunyi kereta api yang perlintasannya berada jauh di kilometer kesekian dari rumahnya terdengar, membersama rekatnya dekapan kerik jangkrik dan dengkang katak pada pukul setengah sebelas malam ini—juga beberapa obrolan antara dia dan Pak Guru Anwar, guru mengajinya sewaktu kecil dulu, yang simpang siur masuk ke dalam telinga.

Nasihat-nasihat orang tua itu silih berganti mengisi pikirannya—tanpa mau pergi. Menampar jiwa-jiwa yang sejak kemarin, diakui atau tidak, selalu mencari pembenaran terkait segala hal yang telah terjadi di antara dia dan manusia bernama Yessica Tamara, yang hingga malam ini, belum kunjung mau banyak membuka suara kepadanya. Segala bentuk kelegawaan yang Vito umbarkan mendadak bermakna sia-sia, kala Pak Guru Anwar mengeluarkan semua opininya di hadapan Vito selepas salat isya tadi—di beranda masjid desa sembari mengadu cerutu yang meliuk-liukkan asap putih tipis dan menyisakan abu latu di bawah kaki.

Hah—benar. Mau diromantisasi seperti apa pun, mau sebertanggungjawab apa pun Vito atas segala kesalahannya, ia tetap berdosa karena telah merusak anak gadis yang ayahnya jaga sedemikian baiknya. Merenggut mimpi-mimpinya, merebut masa depan yang ia yakini begitu besar dan tinggi itu—Yessica Tamara Cantigi, anak Hendarto Kusuma yang tidak mungkin memiliki cita-cita sesederhana manusia pada umumnya.

Selop itu menghentikan gesekkannya dengan jalan setapak, tepat setelah Vito sampai di depan teras. Melepas benda berwarna cokelat gelap yang sedari tadi melindungi telapak kakinya dari bebatuan dan kotoran yang bercecer di jalanan, kemudian naik ke teras yang begitu terang memancarkan sinar.

Suasana rumah sudah sepi—jelas. Jauh melangkah sudah putaran jarum jam dari tepat ketika waktu isya tepat berpijak, dan sudah dapat dipastikan pula jika kakak dan kakak iparnya sudah terlelap sedari tadi.

Derit pintu yang bergesek dengan lantai cukup membuat Vito merasa lega, karena ternyata Anin tidak sekejam itu hingga membiarkan dirinya terkunci di luar padahal jam pulang sudah lewat dari semestinya. Masuk semakin dalam, menutup pintu itu perlahan-lahan setelah mengucapkan salam.

Ruang tamu telah berubah temaram. Tidak ada pencahayaan apa pun kecuali dari sinar lampu ruang tengah yang masih dibiarkan menyala oleh orang rumah. Ayunan tumitnya berhenti tepat di depan pintu kamarnya yang tertutup rapat. Tidak ada suara apa pun kecuali lamat-lamat perbincangan seseorang yang terdengar hingga telinganya yang masih betah terpaku di depan pintu, yang menandakan jika orang yang kini mendiami kamarnya belum menjemput lelap seperti Boby dan Anin yang berada di kamar depan.

"Iya, Mir, iya. Aku minta maaf kalau salah ngomong tadi. Maksudku itu—halo, Mir? Amir!"

Lalu detik berikutnya Vito tahu jika yang tengah berada di sambungan telepon bersama Chika adalah adiknya—Amir, yang malangnya justru menjadi seperti orang ketiga dalam cerita ini.

Ada helaan napas yang lolos dari hidung bangir Vito saat itu juga. Ada riak-riak rasa bersalah yang lagi-lagi muncul di dalam jiwanya—tanpa bisa Vito cegah dan jeda. Pada akhirnya, pria itu hanya bisa melakukan semua bentuk pembelaan dan pembenaran atas segala tindakannya. Berlindung di balik kata bertanggung jawab, yang sejatinya menorehkan luka pada banyak hati di luar sana—Ratu, Amir, Chika, dan mungkin dirinya sendiri.

Hah—Vito memang manusia paling keparat yang tak layak mendapatkan maaf dan tempat.

Semua kekarutmarutan di dalam dirinya mendadak menguap dan keluar bersamaan dengan derit pintu yang terbuka. Memunculkan Chika yang sama terkejutnya dengan Vito ketika mata mereka bersibobrok untuk kesekian kali.

PRESTIGE [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora