Bab 21. Untitled

604 93 69
                                    

Sekonyong-konyong, segala hal yang tadi ia dengar menguap dan menciptakan dengungan-dengungan kenelangsaan di dalam jiwa. Tatkala aroma-aroma keputusasaan menyambangi dasar hatinya dan mengendap bersama ribuan pengharapan yang masih ia pupuk sedemikian suburnya. Sesak di dadanya bukan lagi berarti kias seperti biasanya, melainkan menjadi semakin nyata. Jantungnya yang semula tenang mendadak bergemuruh, mengiringi aliran keringat pada pelipisnya yang pening dihantam kabar dan keputusan yang manusia di hadapannya tuturkan.

"Vito, kamu baik-baik aja?"

Sentuhan itu membuat Vito mengerjapkan mata. Membasahi bibirnya yang kebas oleh getir kata-kata kemudian menganggukan kepala. "Iya, Mas. Saya—baik-baik aja"

"Syukurlah" pria itu, Vino Yudhistira, menggumam pelan. Kembali menegakkan posisi punggungnya agar duduk seperti sedia kala. "Lalu—bagaimana keputusan kamu, Vit?"

Ada jeda yang Vito ambil selama sepersekian detik. Meraba-raba bagaimana kebas hatinya agar kembali seperti semula sebelum menenggak menatap Vino yang selalu saja tenang sejak dulu. "Menurut Mas—saya harus gimana?"

Vino berdeham pelan. Menyodorkan amplop putih yang terselip kertas diagnosis tadi hingga tepat berada di depan Vito. "Saya hanya menyarankan agar pengobatan dan terapi yang kita bicarakan kemarin cepat dilaksanakan. Untuk tahap paling awal, kita bisa mencoba valvuloplasti balon untuk pengobatan kamu. Ini tindakan non bedah. Jadi, kamu enggak harus melakukan bedah jantung"

"Harus rawat inap, Mas?"

Vino mengangguk. "Seenggaknya selama satu malam kamu harus menginap di rumah sakit agar kami mudah mengontrol keadaan kamu, Vit."

"Baik, Mas. Beri saya waktu sampai minggu depan."

"Ya. Persiapkan dulu diri kamu sama mungkin—mulai kasih tahu Chika soal apa yang kamu derita. Kalian sudah menikah. Enggak Cuma sekadar berbagi atap, tapi juga cerita. You deserve to get more support from her. Gimanapun kondisi kalian berdua yang sebenarnya"

Mulai kasih tahu Chika soal apa yang kamu derita—bagaimana bisa jika di antara mereka berdua ada kata pura-pura yang masih sangat baik salah satu di antaranya jaga?

...

Jemarinya dengan lembut mengetuk-ngetuk permukaan meja tempatnya duduk. Menatap dalam-dalam secangkir minuman yang baru saja diseduhkan oleh Wira, salah satu karyawannya, yang memantulkan wajah kalapnya setelah dihantam ribuan pemberitahuan dari bibir Vino Yudhistira. Ada kekhawatiran-kekhawatiran serta ketakutan akan semua bentuk kemungkinan yang barangkali akan segera menyambangi dirinya. Ada banyak hal yang mulai mengusik tenang kepalanya hingga menciptakan berisik di mana-mana. Menghadirkan kata putus asa, yang memuarakan cerita pada rendaan yang tak terduga.

"Saya—enggak tahu harus mulai cerita gimana, Mas. Gimana kalau dia jadi khawatir?"

"Wajar enggak, sih? Dia istri kamu. Khawatir pasti. Shani juga begitu, kok. Harus ada yang kamu bagi dengan dia. Kamu butuh support dia, kamu butuh dia. Itu aja, Vit"

HahVito mendesahkan napas. Meraup pelan wajahnya yang nampak lebih sayu dari minggu sebelumnya saat ia mengunjungi tempat ini bersama Chika terakhir kali. Melempar atensinya ke arah lain, menemukan Chika menuruni anak tangga yang menghubungkan halaman samping dan bangunan utama Kulacino.

"Hai, Mas."

Lengkung bibir Vito tidak bisa tidak tertarik setiap kali melihat senyum perempuan itu—bagaimanapun bentuk kenyataan yang tengah diraba-rabanya setiap waktunya. "Maaf enggak bisa jemput" ia tarik dengan lembut tangan perempuan itu agar semakin rapat dengan dia. Membiarkan Chik terjatuh di pangkuannya seperti biasa. "Tadi gimana di kantor? Nyaman?"

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now