Bab 12. Starting

603 99 38
                                    

"Terus—apa rencana lo setelah ini?"

Bunyi cangkir yang menautkan dasarnya dengan permukaan meja memecah hening pagi itu. Di hari Minggu kesekian yang ia lalui dengan menyendiri dari hiruk pikuk dan semua pemojokan dunia, kakinya akhirnya beranjak juga. Ingkah dari penyudutannya terhadap semesta untuk kembali menyapa segarnya udara dan semua napas kelegaan setelah dua minggu mengurung kepala di dalam persembunyian yang memuakkan.

"Gue mau pisah." Vito menghisap cerutunya yang tinggal separuh. Membiarkan tipis kepulan asapnya mengungkung atmosfer antara dia dan manusia yang dikenalnya selama lebih dari sepuluh tahun itu dengan leluasa. "Hubungan ini kalau pun dilanjutin, akhirnya juga enggak akan sehat. Gue dengan sudut pandang gue sendiri yang terus menerus meromantisasi perbuatan gue dan dia yang sampai kapanpun enggak akan sanggup menerima gue—menerima anaknya" ia menurunkan sebelah kakinya yang semula menginjak kursi. Mencondongkan badan agar dekat dengan meja, mematikan putung rokoknya dengan segera. "Mungkin ngebiarin anak itu pergi akan jadi jalan pertamanya"

"Serius lo tega?" Pria di hadapan Vito menyentuhkan ujung rokoknya dengan pinggiran asap. Membiarkan abu latunya turun dan berkumpul dengan latu-latu yang lain di dasar asbak lalu mengadu cerutunya lagi. "Gue masih inget hari pertama lo ke sini cerita soal keputusan yang lo ambil—yang sebenarnya sedikit banyak bikin gue pengin ngegoblok-goblokin lo"

Vito tertawa pelan. "Ya udah. Goblokin gue aja sekarang"

"Goblok" bola matanya membola, "Gue mendukung selesainya hubungan lo sama Ratu—sangat mendukung. Dia lebih baik enggak pernah jadi sama lo daripada harus makan hati tiap hari"

"Ya 'kan emang udah selesai, Bang" Vito sesap cangkir kopinya sekali reguk, lalu menatap lelaki dengan kupluk hitamnya itu.

"Balik ke topik awal. Lo yakin mau pisah sama istri lo?"

Wajah Vito langsung terjatuh. Menatap kopi di bawahnya yang memantulkan dirinya dengan gelap dan pekat. Ada penggambaran-penggambaran kekarutmarutan yang melintasi tegas garis wajahnya sebelum akhirnya menganggu. "Iya. Gue yakin"

"Enggak. Gue tahu lo ragu," tukas lawan bicaranya. "Gue tahu gimana yakinnya lo dan ragunya lo. Lo enggak usah pura-pura, Drun."

Vito langsung menghembuskan napasnya. Menautkan punggung kokohnya yang dibalut kaus hitam itu pada sandaran kursi, menatap atap rumah sahabatnya yang hanya mampu membisu tanpa banyak memberi solusi. "Gue—bingung, Bang."

"Gue tahu" ia mengangguk-angguk, "Kalau gue ada di posisi lo, gue juga akan bingung, kok. Cuma—mungkin, seandainya gue juga ada di posisi lo, gue enggak akan memaksa Chika buat menerima semuanya secepat itu."

"Maksudnya?" Vito menegakkan punggung, "maksud lo gue terlalu memaksa dia buat nerima semua ini?"

Ia mengangkat bahu. "Ya menurut gue gitu. Enggak tahu kalau lo dan orang-orang lain di sekitar lo gimana—Anin juga gimana. Ya lo bayangin aja, Vit, umur dua puluh satu tahun belum ada udah harus dikasih kepercayaan jadi ibu dengan cara yang enggak bener. Siapa yang bisa tiba-tiba aja nerima itu?"

"Bang Nabil, gue enggak nyuruh dia buat cepet-cepet nerima semuanya, kok. Gue paham dia juga butuh waktu buat menerima gue, menerima anaknya. Tapi makin ke sini, yang gue lihat dia bukan butuh waktu buat menerima gue, buat menerima anaknya. Tapi justru waktu buat pisah dari gue."

"Itu karena apa? Karena lo juga apatis sama dia yang kaya gimana. Makanya kaya yang tadi gue bilang, hubungan lo sama dia ini bisa agak lebih mending kalau seandainya yang lo pikirin pertama kali itu mentalnya si Chika—gimana dia yang baru aja jadi korban pelecehan seksual, harus jadi calon Ibu yang dikit-dikit gue tahu enggak gampang juga, jadi istri lo yang sama sekali enggak punya porsi di hati dia, hubungannya sama Amir, keluarganya yang kecewa juga, terus mimpi-mimpinya juga yang diakui atau enggak jelas enggak bisa lagi dia gapai semuanya. Lo bayangin kalau ada di posisi Chika gimana." Nabil lempar rokoknya ke arah tempat sampah di ujung teras belakang. Mereguk kopinya lagi. "Ya meskipun gue juga enggak membenarkan perbuatan dia yang sampai mau bunuh anaknya itu, ya, Vit. Menurut gue, itu juga enggak ada bener-benernya sama sekali. Cuma—ya itu tadi. Masalah lo sama dia enggak bisa kalau dilihat dari sudut pandang satu orang aja. Harus dua-duanya. Lo menempatkan diri jadi dia, dia juga menempatkan diri jadi lo. Paham 'kan maksud gue?"

PRESTIGE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang