Bab 02. Sejimpit Cerita

795 92 24
                                    

Ada yang berdegup di balik dadanya, ada yang mencelos, ada yang terasa berat dan gamang. Kala satu dua kalimat itu membayang-bayangi kepalanya dengan begitu hebat dan kuatnya. Ada selaksa kekhawatiran yang beriak-riak di dalam dada, ada kaca-kaca tipis yang menyelaputi pelupuk mata, saat pendar kekecewaan itu berkilat redup pada sepasang retina yang tengah duduk berbatasan meja dengan dirinya. Ada berbagai kecamuk, yang isinya juga sama saja, menghantam kuat relung jiwanya. Tatkala lentik jemari itu perlahan terangkat, kemudian melepas sebuah cincin di jari manis yang dulu sempat ia sematkan di bibir Pantai Baron yang memesona—pada batas-batas senja bersama latar belakang warna jingga.

Bunyi gemeletak yang ditimbulkan benda berlubang itu tak begitu keras membelah sunyi. Namun, cumup keras menampar wajahnya melalui hunus tatapan keputusasaan yang berapi-api. Mengunci kedua lembab bibir, tanpa sama-sama mau membuka suara yang dikunci di pangkal lidah.

"Ya sudah"

Hanya itu—benar-benar hanya itu yang keluar dari bibir kekasihnya. Tidak ada yang lain, kecuali semua rasa berat serta jengah yang menghentak dada Vito hingga ke Mariana yang ia punya—dalam dan tajam, hingga membuat semuanya menjadi kelam.

"Saya—minta maaf, Ra. Saya—salah, ya?"

Hanya Vito Lakeswara Madaharsa yang berani menanyakan itu setelah kabar penuh luka yang dibawanya kepada sang kekasih, yang sejatinya, pada hari ini baru saja menginjakkan kaki di tanah air setelah melakukan perjalanan panjang menjadi pejuang pendidikan di negeri orang sana.

Dan hanya kekasihnya pula, yang pada hari diberikan kabar tentang pengkhianatan itu, masih bisa berlapang dada tanpa meletup-letupkan amarah kendati remuk redam dadanya tak lagi bisa dikiaskan oleh apa pun. Padahal, seandainya mau, Vito juga tetap akan berlapang dada ketika tangan itu terangkat kemudian menampar pipinya tanpa aba-aba. Vito benar-benar siap, sangat siap.

"Kamu tidak mau menampar saya?"

"Untuk apa?" Dia tertawa, menyeka setitik air mata yang melesat jatuh membasahi pipi. "Saya marah pun, kesalahan kamu tidak akan hilang begitu saja 'kan, Mas?"

Vito terdiam. Ngilu di dadanya semakin menjadi-jadi saat tawa yang selalu dirindunya terdengar sumbang dan hambar. Yang pada hari ini ia kultuskan sebagai tawa yang paling dibencinya—sampai kapan saja.

"Bukan begitu, Ratu. Maksud saya—untuk semua kesalahan yang sudah saya buat, cuma begitu tanggapanmu?"

Nyimas Ratu Rafa—wanita yang dilukainya dengan begitu hebat, pada akhirnya meloloskan hela napas beratnya juga. Menggelengkan kepala, menundukannya sedalam mungki. Ada kesedihan yang tengah resapi, ada rasa sesak yang tak pernah ia ingini. Kala pengkhianatan paling besar, yang sebelumnya tak pernah ia duga akan muncul dari lelaki yang teramat dipujanya, bersambang juga. Mematahkan harapannya, mematahkan cita-citanya.

"Ada yang bilang, tingkat kekecewaan tertinggi seseorang itu bukan ketika dia mampu mencaci dan memaki, tapi justru ketika dia hanya mampu mendiamkan kekecewaan itu sampai kata rela benar-benar datang pada dirinya. Sampai sini—apa kamu mengerti maksud perkataan saya, Mas?"

Vito tahu. Nyaris mengangguk jika tak segera ingat apabila ia menggerakkan kepala, dia akan menjadi laki-laki paling bodoh di dunia.

"Itu perasaan saya ke kamu sekarang. Tidak perlu saya pertegas, kamu sudah paham 'kan?" Ia menarik napasnya sekali lagi. Mengambil paper bag di bawah kaki, kemudian meletakkannya di atas meja. "Rolex. Niatnya, mau saya kasih sambil bilang, Biar kamu inget waktu, inget saya juga. Tapi, sudah tidak bisa lagi 'kan? Jadi—saya ganti aja sekarang. Semoga kamu selalu ingat waktu, ingat istri anakmu juga nanti. Terima kasih juga karena sudah buat saya senang karena ada kamu. Meski mungkin, kamu tidak senang dengan adanya saya"

PRESTIGE [Completed]Where stories live. Discover now