12: Intuisi

355 74 14
                                    

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚫ ⚫ ⚫

Sebagian psikolog berpendapat bahwa munculnya intuisi di pikiran seseorang melibatkan berbagai informasi atau pengalaman masa lalu yang dikendalikan oleh alam bawah sadar. Semakin banyak pengalaman hidup, biasanya semakin kuat pula intuisinya.

Sejak awal Friska memaksanya untuk sedikit 'berdandan', Bunga sudah merasakan akan ada hal yang tidak mengenakkan terjadi setelah ini.

Intuisinya tidak akan salah. Dan dia sudah membuktikannya beberapa kali. Maka, ketika ia tidak mampu untuk menolak permintaan Friska, dia sudah menentukan pilihan.

Kemungkinan yang akan terjadi atas pilihannya adalah sesuatu yang buruk. Dan itu ..., terbukti sekarang.

Beberapa teman sekelasnya mengerubungi Bunga begitu dia tiba di kelas. Seharusnya tidak ada yang salah. Namun, seorang Bunga Ayunindhya akan selalu salah di mata orang-orang ketika ia mencoba untuk sedikit menampakkan diri.

“Eh, Bunga, lo pake apaan itu di bibir? Gincu?” Adam menunjuk-nunjuk wajah Bunga, laki-laki itu menertawakannya.

“Lo dandan, heh? Segala pake pupur sama gincu, hahaha ....”

“Heh, diem lo! Jangan mulai ya!” Friska menegur, namun Adam nampak tidak peduli. Bahkan laki-laki itu semakin heboh mengoloki dirinya—mengajak teman-teman sekelasnya untuk menjadikan Bunga pusat perhatian.

“No, kelakuan cewek lo nih. Udah ngerti dandan dia.”

“Najis!” sahut Reno dari tempat duduknya, kemudian berjalan mendekat kerubunan di depan kelas itu.

Rasanya pengap. Bunga ingin pergi, namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain berdiam diri dengan kepala tertunduk dalam.

Sekarang, Reno berdiri di hadapannya. Laki-laki itu menunduk kemudian mengendus aroma tubuhnya. “Lo pake parfum?” tembak laki-laki itu. “Belajar dari mana, sih? Kok lo sok gegayaan gini,” sarkas laki-laki itu.

“Udah lah, nggak usah sok dandan-dandanan kayak gini. Buat apa, coba? Cari perhatian, hah?!”

“Lo tuh, dari awal udah burik. Nggak usah mimpi mau jadi bidadari dengan lo dandan kayak gini. Imut kagak, kayak babi iya!” celetuk Nayla—teman satu geng Renata.

Kenapa? Memangnya apa yang salah pada dirinya? Bunga sudah pastikan sebelum ia pergi ke kelas bersama Friska, dia tidak berdandan yang berlebihan—hanya memakai bedak, liptint, dan parfum. Ini bukan sesuatu yang norak. Ini normal, seperti kebanyakan remaja perempuan lakukan—termasuk Nayla, Renata, Friska, dan juga beberapa teman perempuannya lakukan.

Namun ..., mengapa jika Bunga yang melakukannya, ini menjadi suatu hal yang salah? Apa karena fisiknya yang buruk rupa, jadi ia tidak diperbolehkan untuk berdandan, seperti itu?

Friska menarik Bunga untuk bersembunyi di balik punggung perempuan jelita itu. “Hei, Nay! Lo cewek, ‘kan? Nggak seharusnya lo ngomong kayak gitu. Seharusnya lo paham, bukan malah ikut nyerocos sampah kayak gini, cuih!”

Hanya karena dirinya berdandan, apa itu menjadi masalah untuk orang-orang? Sekarang keadaan kelas menjadi ricuh. Nayla yang nampak tersinggung oleh perkataan Friska tidak tinggal diam. Gadis itu melangkah mendekati Friska dan menjambak rambut gadis itu dengan kuat.

“Heh, gue nggak ngomong sama lo, ya! Nggak usah sok jadi pahlawan deh, lo!”

Friska berbalik menyerang Nayla. Sekarang kedua perempuan itu saling menjambak. “Lo tuh yang diam, mulut bau sampah!”

“Hey, kok kalian malah jadi berantem gini?!” Renata menegur seraya memisahkan Nayla dan Friska dengan susah payah.

Napasnya masih memburu dengan rambut yang sudah berantakan, Friska sepertinya belum merasa puas. Kini gadis itu menunjuk-nunjuk wajah Arion dengan emosi penuh. “Lo bener-bener ketua kelas nggak guna!”

“Lo ngeliat sendiri teman lo dibully di kelas ini, tapi apa yang lo lakuin?! Lo malah diem nontonin seolah-olah ini pertunjukan seru untuk di tonton. Di mana otak lo sih, Yon?!” sengit Friska.

Demi apapun, Bunga ingin semua drama ini berakhir. Jadi perempuan itu menarik lengan temannya, meminta untuk mengakhiri semuanya—keributan ini.

“Lepas! Lo jangan tahan-tahan gue lagi, Nga!” Dia menepis kasar tangan Bunga.

Arion berdiri, melangkah mendekat dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Ini pembullyan?” Iris hitamnya memonitor satu persatu pasang mata di depan kelas itu.

“Bukan!” elak Adam.

“Ini candaan doang kali,” bela Reno.

Friska tertawa miris mendengar pembelaan yang bersembunyi dibalik kata ‘bercanda’. Benar-benar bodoh!

“Lo tau nggak arti bully?” Arion bertanya lagi. Kali ini iris matanya hanya menghunus lurus manik Friska dengan seringai di bibir.

Bully itu kalo ada korban. Tapi ini cuma candaan remaja biasa, Fris. Lo doang yang terlalu serius nanggapinnya. Ini jelas cuma candaan karena terjalin dua arah. Buktinya teman lo yang diejekin aja malah diem doang, berarti dia juga nikmatin candaan ini, ‘kan? Di sini nggak ada yang jadi tersangka ataupun korban. See, ini nggak termasuk pembullyan.”

“Tolol!” maki Friska.

Bunga tidak tahan lagi, rasa panas juga gatal di lehernya ia abaikan untuk mencoba meredam amarah Friska.

“Friska, udah ya,” bisiknya memohon.

“Temen lo aja dari tadi cuma diem, Fris. Kenapa malah lo yang repot ribut sana-sini?!” sindir Nayla.

“Lo semua anjing!” Untuk sekian kalinya, Friska memaki, lagi. Kemudian mengacungkan jari tengahnya pada semua teman—tepatnya lebih cocok disebut binatang—sekelasnya yang terlibat masalah ini.

Bunga memejam, kedua matanya sudah terasa panas sedari tadi. Pertanda, akan ada hujan yang mengalir. Mengapa dia sangat tidak berguna sekali? Berapa banyak lagi kata-kata kasar yang Friska keluarkan hanya untuk membela dirinya yang bodoh ini?!

Semua penghuni kelas yang tadi mengerubunginya sudah kembali ke tempat duduk masing-masing, termasuk Friska.

Dari tempatnya duduk, Friska memintanya untuk duduk juga dengan tatapan penuh penyesalan—rasa bersalah—yang memaksanya untuk berdandan.

Bunga terpaku di pijaknya. Kepalanya menggeleng menatap Friska. Ada satu bulir air mata yang berhasil melarikan diri. Tidak, dia sama sekali tidak menyalahkan Friska. Dia ..., hanya kecewa pada dirinya sendiri yang begitu bodoh dan hina.

Bunga tidak tahan, ia ingin meledak. Menumpahkan segala rasa sesaknya. Maka, ia berjalan mundur—pelan, mengambil langkah keluar kelas. Perempuan itu kabur, lari dari masalah.

Jika bisa, Bunga ingin menghilang untuk selamanya. Agar tidak ada lagi yang merepotkan Friska. Dia sangat benci melihat Friska yang terpojok sendiri hanya karena membela dirinya.

⚫ ⚫ ⚫

..••°°°°••..

Bersambung

°°••....••°°

300321

Find Yourself!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang