13: Sesak yang Memuakkan

366 73 6
                                    

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

⚫ ⚫ ⚫

Bunga berlari, mematri langkah tak menentu arah. Dia hanya ingin menghilang, sejenak saja untuk membuang segala perasaan mencekik ini.

Dia hapus warna di bibir yang sebelumnya dipoles liptint oleh Friska secara kasar menggunakan punggung tangan. Menghapus segala jejak itu yang sukses mempermalukan dirinya di depan kelas.

Bunga tidak ingin menyalahkan siapa pun. Tidak sekalipun. Dia ..., hanya marah pada dirinya, kecewa pada dirinya yang sudah dilahirkan dengan segala kekurangan tanpa ada satupun kelebihan yang ia miliki.

Katanya, Tuhan itu adil. Tapi, di mana letak keadilannya? Mengapa harus ia yang merasakan hinaan ini? Mengapa harus ia yang terlahir menjadi perempuan buruk rupa? Mengapa ..., ah, ia rasa terlalu banyak ‘mengapa’ yang bertanya dalam benaknya.

Langkah kaki membawanya ke taman belakang sekolah. Beruntungnya tempat ini sepi, jadi Bunga bisa dengan bebas mengeluarkan segala kekacauan di hati.

Perempuan itu memilih untuk duduk di atas rerumputan hijau, di bawah pohon beringin yang teduh. Berharap teduhnya udara sekitar dapat menghilangkan rasa panas di dada.

彡✿❦彡✿❦彡✿❦彡✿❦

“Udah puas tidurnya?” Gerhan menepuk keras bahu Arka yang berdiri mengantri di kantin.

Laki-laki itu berdecak karena pukulan keras yang di dapatkannya. “Berisik lo.”

“Berisik, berisik! Jigong lo tuh masih nempel di ujung bibir,” olok Gerhan tertawa disusul Farrel.

Gerhan berkata dengan suara cukup lantang hingga memancing perhatian penghuni kantin. Wajah hingga telinga Arka bahkan sudah memerah karena malu. Astaga, mengapa ia harus berteman dengan orang-orang gila seperti ini, sih?!

Arka mendengkus setelah mengusap ujung bibir. Kepalanya mendongak memonitor satu persatu menu yang tertulis di spanduk atas kantin.

“Makan apa ya yang enak?” gumamnya sendiri. “Lo makan apa, Han?”

Gerhan yang berbaris tepat di belakang Arka menatapnya dengan satu alis terangkat tinggi. “Anjir! Lo kok kek cewek aja, Ka, mau makan aja pake mikir lama. Cepet pesen, lo nggak liat apa ini antrian di belakang panjang udah kek antrian sembako,” protes laki-laki itu. “gue cuma mau beli minum, Jojo bawain gue bekal,” lanjutnya kemudian senyam-senyum sendiri.

“Dih, bucin!” ejek Farrel.

“Iri bilang Bos!”

Arka memutar bola mata—malas menyaksikan perdebatan mereka. Tanpa sengaja, kepalanya tertoleh ke arah kanan jendela kantin yang langsung tertuju pada halaman belakang sekolah.

Find Yourself!Où les histoires vivent. Découvrez maintenant