31: Permintaan Maaf

374 53 13
                                    

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⚫ ⚫ ⚫

Gerhan termangu di pijakannya. Memandangi Bunga—yang tengah menyapu halaman belakang rumah—dengan penuh perasaan bersalah. Setelah apa yang dia lihat sendiri dengan mata kepalanya, atas kejadian yang menimpa Bunga di sekolah, mengenai pembullyan yang Bunga dapatkan dari teman sekelasnya. Gerhan tahu, Bunga pasti tidak baik-baik saja. Ditambah, Gerhan juga sering mengejek perempuan itu dengan sebutan-sebutan yang tidak pantas, membuat perasaan bersalahnya kian meruah.

Laki-laki itu meremas kontak ponsel yang dia sembunyikan di balik badannya. Ah iya, dia belum meminta maaf dengan benar pada Bunga, ‘kan? Jadi, Gerhan memangkas jarak diantaranya diam-diam tanpa Bunga sadari.

“Hm ..., Tong!” panggilnya ragu. Sebenarnya dia ingin menyebutkan nama perempuan itu, tapi kenapa lidahnya kelu sekali, ya? Menunggu respon Bunga, tetapi setelah beberapa detik berlalu perempuan itu tidak kunjung menyahut, membuatnya kembali bersuara. “Woy!”

“Apa, Tuan? Nggak liat aku lagi sibuk, kalo mau ganggu jangan sekarang!” Bunga menyahut sembari terus menyapu dedaunan kering tanpa menatap Gerhan.

Mendengar nada suara Bunga yang sewot entah mengapa membuatnya tersenyum. “Sini, liat gue dulu. Bentar aja,” bujuk Gerhan.

“Apaan, sih?!” Bunga mendongak meski dengan setengah hati. Perempuan itu menumpu wajah di atas tongkat sapu, mendelik pada Gerhan.

Gerhan tersenyum tipis, kemudian mengeluarkan kedua tangan dari balik badannya. Menjulurkan kotak ponsel yang berlogo buah apel. “Nih, buat lo.”

Tidak ada angin, tidak ada hujan. Bunga tidak tahu mengapa sikap Gerhan jadi baik padanya seperti ini. Akhir-akhir ini, Bunga sering dibuat terkejut oleh perubahan sikap Gerhan yang sangat dadakan. “A-apa itu?” tanya Bunga terbata.

Gerhan berdecak. “Ini HP baru. Lo nggak bisa liat?! Cepet ambil, tangan gue pegel!”

Nah, ‘kan! Baru saja tadi laki-laki itu berbicara dengan baik, sekarang nada ketusnya mulai kembali. “Maksudku buat apa, Tuan?”

Bunga mengamati Gerhan yang entah mengapa terlihat salah tingkah. Laki-laki itu mengusap tengkuk belakangnya seraya membuang wajah ke samping untuk menghindari tatapan Bunga. “Buat gantiin HP lo yang rusak. Cepetan ambil, Gentong!”

Perempuan itu menyipitkan mata dan terus menatap Gerhan. Akhirnya, Bunga mengerti dibalik sikap Gerhan yang berubah akhir-akhir ini. Hei, apa laki-laki itu menyesal? Apa benar Gerhan merasa bersalah? Bunga mengambil satu langkah, memotong jarak di antara mereka semakin mendekat.

“Nga-ngapain lo?!” gugup Gerhan dengan suara yang nyaring, hampir berteriak. Dia mundur perlahan, kembali menjaga jarak dengan Bunga yang terus mendekat padanya.

“Tuan ngerasa bersalah?”

“Jangan dekat-dekat, jauhan lo!”

Bunga tidak menghiraukannya, dia kembali mengambil langkah perlahan. “Tuan ngerasa bersalah?!” tanyanya dengan nada menuntut jawaban. Kenapa, sih, susah sekali buat Gerhan untuk mengatakan ‘maaf’ jika laki-laki itu benar-benar menyesal atas perbuatannya.

Find Yourself!Where stories live. Discover now