20: Memori dan Tentang Arkana

335 60 5
                                    

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⚫ ⚫ ⚫

Enam tahun lalu, pertemuan pertama

“Ayu, kamu habis dari mana aja, sih? Abang nyariin kamu ke mana-mana dari tadi!” Laki-laki bertubuh gempal yang berbalut seragam putih biru itu berkacak pinggang. Matanya menatap lurus pada perempuan yang mengenakan baju pasien rumah sakit.

Anak perempuan yang dipanggil Ayu itu mendekat. Menenangkan kakak laki-lakinya dengan menyentuh lengan kanan laki-laki itu. “Aku bosen, Bang Vano! Jadi aku keliling-keliling bentar,” ujarnya dengan bibir cemberut.

Vano menghela napas, mengelus rambut pendek adiknya. “Jangan buat Abang khawatir,” desahnya.

Karena terlalu diselimuti rasa khawatir sedari tadi, laki-laki itu baru menyadari bahwa adiknya tidak sendirian. Ada anak perempuan bertubuh gempal sepertinya yang sedang berdiri di belakang Ayu. Vano mengerutkan alis, melempar kode pada anak perempuan itu dan Ayu.

“Oh iya, dia teman baru aku, Bang. Tadi kami baru aja kenalan. Ayahnya lagi di rawat di rumah sakit ini juga,” jelas Ayu yang membuat Vano menganggukan kepala mengerti.

Laki-laki itu melangkah mendekati perempuan yang sedari tadi menunduk dengan memainkan jemari berisinya. “Hai, aku Vano. Abangnya Ayu.” Vano mengulurkan tangan kanan yang disambut perempuan itu.

“A-aku Bunga,” ujar perempuan itu malu-malu.

Ayu merangkul bahu Bunga. “Bagus, ‘kan, Bang namanya? Bunga Ayunindhya,” ujar perempuan itu ceria. “Jangan malu-malu dong, Bunga. Abang aku nggak makan orang kok,” lanjutnya kemudian tertawa.

Bunga tertawa canggung. Vano juga ikut tertawa. “Iyaa, aku nggak makan orang kok.”

Enam tahun lalu, setelah mengenalnya

“Ini apa?” Vano memperhatikan cincin berbahan plastik warna kuning yang baru saja Bunga berikan padanya dan Ayu. Mereka bertiga sedang duduk di bangku panjang di halaman rumah sakit.

“Cincin,” kata Bunga dengan tersenyum. Kedua mata gadis itu menghilang ditelan pipi tembamnya kala tersenyum.

Vano menelan ludah menatapnya. Pipi Bunga tembam sekali. Apa itu tidak akan meledak?

“Iya aku tau,” sela Vano. “Maksud aku buat apa?”

“Ya, buat dipakai lah!” sahut Ayu gregetan.

Vano mendesis sinis.

“Anggap aja itu sebagai tanda pertemanan kita. Kita udah berteman selama sebulan, ‘kan di sini,” terang Bunga.

Find Yourself!Where stories live. Discover now