42: Tentang Kita

205 15 2
                                    

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

⚫ ⚫ ⚫

Kepala Bunga tertunduk, menatap kedua kakinya yang berbalut sepasang sepatu berwarna hitam. Di tangan kanan gadis itu menenteng paper bag bermotif batik. Satu persatu siswa sudah keluar dari kelas setelah beberapa menit lalu bel berbunyi. Namun, seseorang yang Bunga tunggu-tunggu sedari tadi tidak kunjung terlihat.

Satu helaan napas Bunga hembuskan bersamaan dengan suara laki-laki menyapa rungunya.

“Gentong?”

Sontak, Bunga berbalik. Tanpa perlu menengokpun sudah bisa dipastikan siapa seseorang yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu.

“Ngapain?”

Tentu saja, hanyalah Gerhan.

laki-laki jangkung itu berdiri tepat di depan pintu kelas, menatapnya heran dengan kedua alis bertaut.

“T-tuan,” sapa Bunga sedikit terbata. Gadis itu mundur perlahan kala Gerhan memangkas jarak di antara keduanya.

“Gue tanya, ngapain di sini?” tanya Gerhan lagi karena belum mendapat jawaban dari Bunga.

“Aa-aku—”

Tanpa menunggu jawaban yang Gerhan inginkan, laki-laki itu langsung memotong penjelasan yang ingin Bunga sampaikan. “Jangan, jangan ... lo nungguin gue, ya?” tebaknya dengan tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata.

Diam-diam Bunga berdecih. Tidak tahan dia melihat Gerhan senyum-senyum seperti itu di depan wajahnya seraya menaik-turunkan kedua alis tebal laki-laki itu. Terlihat gila memang.

“Bukan Tuan—”

Lagi, Gerhan tidak memberikannya sedikit waktu untuk menjelaskan. Bahkan, tanpa tahu Bunga siap atau tidak, laki-laki itu langsung menarik satu tangan Bunga.

“Yaudah, sih, kenapa nggak bilang kalo emang mau pulang bareng gue. Untung gue sekarang baik hati ke lo, jadi gue bolehin lo pulang bareng gue,” cerocos Gerhan tak mengacuhkan Bunga yang termangu berjalan di belakang, masih dengan tuntunannya.

Haduh, sumpah demi apapun Bunga tidak kuat lagi dengan kepercayaan diri Gerhan. Lagi pula, tumben-tumbenan Gerhan bersikap baik seperti ini, yang mulanya seperti singa ganas sekarang sudah menjelma menjadi seekor kucing yang jinak.

Bunga melepas genggaman tangan Gerhan dari pergelangannya. “Tuan,” panggilnya membuka suara seketika membuat langkah Gerhan terhenti. “Aku tadi nungguin Kak Arka, Tuan. Kok dia nggak ada? Lagi nggak masuk kah?”

Bahu yang semula tegap itu kontan meluruh. Astaga, kenapa Gerhan merasa kecewa, ya? Setelah tahu bahwa yang dicari Bunga adalah Arka bukan dirinya.

“Ohh, lo nyari Arka?” Tidak ada lagi senyum dengan tingkat kepercayaan diri tinggi seperti tadi, melainkan senyum canggung yang dipaksakan. “Iya, dia lagi nggak masuk dari kemaren. Sakit,” lanjut Gerhan menginformasikan.

Dari jarak mereka yang kurang dari satu meter. Gestur Bunga terlihat sangat jelas ketika mata bulat indah itu membesar dan bergerak tak tentu arah. Gadis itu terlihat sangat khawatir.

“Sakit apa?” beo Bunga, kemudian mata bulat indah itu kembali beralih dan beradu tatap dengan manik hitam milik Gerhan. “Tuan, boleh aku minta alamat rumah Kak Arka?”

彡✿❦彡✿❦彡✿❦彡✿❦

Bunga berdiri kaku, di depan pintu rumah bergaya minimalis. Untuk beberapa saat gadis itu tampak ragu sebelum telunjuk kanannya memencet bel yang tertempel di daun pintu.

Beberapa detik terlewati, Bunga tidak menemukan tanda-tanda sang pemilik rumah menyambutnya. Apa nggak ada orang, ya? batinnya. Masalahnya, rumah ini sangat sunyi, seperti tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

Di kali ketiga Bunga memencet bel, namun masih belum ada jawaban dari dalam sana, Bunga memilih menyerah. Memutar badan dan sudah berjalan sebanyak dua langkah, ia mendengar suara pintu terbuka, disusul oleh suara laki-laki yang memanggil namanya.

“Bunga?”

Suara itu ... kenapa Bunga merasa sudah sangat lama dia tidak mendengarnya? Suara yang kali ini terdengar sedikit serak.

Bunga memutar tubuh, tersenyum dan kemudian menyapa dengan canggung. “Kak Arka,” panggilnya dengan suara kecil.

Arka melebarkan daun pintu dan berjalan mendekati Bunga. “Kok, kamu di sini?”

Kamu.

Sesaat Bunga terpaku, menyadari bahwa Arka mengubah kata sapaan di antara mereka. “Kak Arka ....” lirih Bunga, menunduk dan tidak berani untuk menyelami lebih lama lagi manik mata dengan tatapan teduh dan sendu milik Arka.

Begitu melihat Arka, semua rasa bersalah Bunga seakan menguar hingga kerongkongan terasa begitu kering dan sulit untuk mengeluarkan sepatah kata. Untuk sekedar menanyakan kabar laki-laki itu.

Apa kabar?”

Hening di antara mereka. Tentu saja Arka tidak akan bisa mendengar suara hati yang Bunga sampaikan. Menunggu untuk beberapa detik, namun Bunga tidak juga bersuara. Arka tidak tahan, meski pening melingkupi kepalanya, laki-laki itu membuka suara lagi.

“Lo tau ...” Arka menjeda, membasahi tenggorokannya sejenak. “Gue nggak baik-baik aja, Bunga. Gue lagi nggak baik,” ungkapnya, seakan menjawab batin Bunga.

“Maaf,” luruh sudah pertahanan diri Bunga. “Aku minta maaf, Kak ....”

⚫ ⚫ ⚫

..••°°°°••..

Bersambung

°°••....••°°

Terima kasih sudah membaca Find Yourself!💙💙

Sampai jumpa di bagian cerita selanjutnya🙆🏻‍♀️

270723

Find Yourself!Onde histórias criam vida. Descubra agora