27: Cara Menghargai

309 59 6
                                    

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⚫ ⚫ ⚫

Siniin HP lo!”

Bunga mendongak dan mendapati Gerhan dengan wajah tak bersahabat. Memang, sih, wajah Gerhan selalu seperti itu jika berhadapan dengan dirinya, tapi kali ini auranya sedikit gelap. Menyeramkan.

“Buat apa?” tanya Bunga menghentikan kegiatan menyapu lantai. Menunggu respon Gerhan, tetapi laki-laki itu hanya diam dengan tatapan menuntut, membuat Bunga merogoh saku celana dan memberikan ponselnya pada Gerhan.

Masih terlalu pagi untuk memulai keributan. Gerhan bahkan masih dibanjiri oleh peluh sehabis lari pagi. Datang tiba-tiba padanya dengan mood yang buruk, Bunga tidak ingin lebih membuat mood laki-laki itu semakin hancur.

Ketika Gerhan membawa serta ponselnya pergi, Bunga terperangah dan spontan langsung mengikuti laki-laki itu.

“Tuan, HP-ku mau dibawa ke mana?”

“Tuan!”

Gerhan sama sekali tak mengindahkannya. Dia berhenti tepat di tepi kolam, melirik ke arah air kolam seraya menyeringai. Gerhan tidak main-main. Ketika kemarin melihat Bunga yang bersenang-senang menghabiskan waktu bersama Arka dan mengabaikan semua panggilannya, Gerhan seperti terbakar. Dia akan memberikan Bunga balasan, dan ini adalah waktu yang tepat.

“Ini? HP butut ini?” Gerhan mengangkat tinggi ponsel Bunga yang dia pegang di tangan kanannya.

“Balikin HP-ku!” Bunga berjinjit, berusaha menggapai tangan Gerhan yang terangkat tinggi. Namun, karena selisih tinggi mereka yang cukup jauh membuatnya kesulitan untuk menggapai tangan panjang yang terangkat tinggi itu.

“Tuan boleh ambil yang lain, asal jangan HP-ku.”

“Kenapa?” Gerhan terkekeh. Mendorong tubuh gempal Bunga agar jauh dari jangkauannya. “Gue rasa lo nggak perlu HP butut ini. Percuma punya HP kalo ditelepon nggak diangkat, chat juga nggak dibalas. Gimana kalo gue buang aj—”

“Jangan!” Bunga berteriak histeris. “Jangan buang atau rusakin HP-ku, please ....”

“Buat yang kemaren aku minta maaf. Tolong balikin HP-ku.” Suara Bunga melirih hampir menangis. Tangannya berusaha menggapai ponsel miliknya.

“Bacot! Emang gue peduli?!” sentak Gerhan menatap Bunga nyalang. “Gue sampe heran, lo apain, sih, temen gue si Arka itu? Kok mau-maunya dia deketin cewek kayak lo. Jangan-jangan lo pelet dia, heh?” lanjutnya. Memang, Gerhan sudah memikirkannya berulang kali. Apa, sih, istimewanya perempuan jelek ini hingga Arka sampai terpincut padanya?

Bunga tidak peduli dengan apa yang Gerhan katakan. Sekarang keinginannya hanya satu; ponselnya segera kembali. Ponsel itu satu-satunya benda yang ditinggalkan ayah, ia tidak ingin kehilangan kenangan yang tertinggal itu.

Tangis perempuan itu sudah pecah saat dirasa usahanya sia-sia. Bunga tidak bisa mengambil ponsel itu dari tangan Gerhan. “Balikin HP-ku ....”

“Oke, gue balikin.” Gerhan tersenyum jahil. “Tuh, ambil kalo lo bisa.” Dia tersenyum puas setelah melemparkan ponsel Bunga ke dalam kolam.

Bunga terpekik histeris.

Gerhan pikir, perempuan itu akan menyerah dan pergi begitu saja setelah dia membuang ponselnya ke kolam. Namun, apa yang dilakukan perempuan jelek itu selanjutnya membuat Gerhan memaki Bunga habis-habisan.

Perempuan itu menyebur ke dalam kolam. Beberapa saat kemudian, kedua tangannya terangkat berusaha menggapai-gapai udara. Kepalanya dia usahakan terus terdongak agar tidak masuk ke air. Bunga tidak bisa berenang, dan Gerhan sangat tahu itu.

Maka, sebelum perempuan jelek itu kehabisan napas di air, Gerhan melompat. Membawa Bunga ke tepi kolam. Air kolam yang dingin karena pengaruh cuaca pagi ini dia abaikan.

Gerhan hanya ingin memaki Bunga. Perempuan jelek itu bodoh! "Lo gila, hah? Nyari mati?"

“Kalo mau mati jangan di sini, tolol!” Napasnya terengah dengan debaran di dada memburu. Gerhan menatap Bunga nyalang setelah berhasil membawanya ke tepi kolam.

Bunga masih terbatuk. Dia memukul-mukul dadanya masih dengan menangis. “Tanggung jawab kamu! Kamu yang udah buang HP aku ke kolam, ambilkan! Sana ambil!” Bunga memukul keras bahu Gerhan yang masih berdiri di dalam air.

Kalau biasanya Gerhan pasti akan langsung marah mendapati Bunga yang dengan berani memukulnya. Namun, sekarang situasinya tidak mendukung untuknya marah karena masalah sepele ini. Melihat Bunga yang menangis histeris hanya karena sebuah ponsel jadul membuatnya berdecak. Jadi, Gerhan menyebur kembali. Mencari ponsel yang tadinya ia lempar.

“HP jadul gini doang lo tangisi?! Nanti gue ganti. Yang lebih bagus! Yang lebih mahal! Lo puas?” Gerhan memberikan ponsel itu pada Bunga setelah berhasil menemukannya.

Perempuan itu mengabaikannya. Bunga sibuk mengelap ponsel itu dan menepuk-nepuknya. Berusaha mengeluarkan air yang kemungkinan masuk ke dalam mesin di ponsel itu. Gerhan berdecak lagi.

“Heh, cewek jelek, lo nggak denger gue?”

Bunga sibuk mencoba menyalakan ponsel itu. Gerakan tubuhnya gelisah, tangan berisi itu mengusap wajah basah oleh air mata bercampur air. “Ya Allah, jangan sampe rusak,” gumamnya yang masih Gerhan dengar.

Gerhan muak. Dia rebut kembali ponsel itu dari tangan Bunga. “Nanti gue ganti, Gentong!” bentaknya.

“Kamu nggak bakalan ngerti!” sengit Bunga. Dia menatap Gerhan dengan semua amarah yang berusaha ia tahan sedari tadi. Perempuan itu menangis lagi. Tidak peduli seberantakan apa wajahnya saat ini di depan Gerhan.

“Orang kayak kamu nggak bakalan ngerti,” lirihnya. “Kamu orang berada, semua serba berkecukupan bahkan lebih. Hidup kamu sempurna. Jadi kamu nggak bakalan ngerti seberapa berharganya HP jadul atau butut ini buat aku. Kamu selalu memandang sebelah mata, kamu suka meremehkan. Miris, tapi mungkin kamu juga miskin empati.” Lagi, Bunga mengusap air matanya yang mengalir. Suaranya terdengar parau.

“Kamu nggak bisa menghargai hal-hal kecil di sekitarmu.” Bunga berdiri. Membawa ponselnya yang entah rusak dan masih bisa diperbaiki atau tidak.

Sebelum benar-benar beranjak, Bunga menoleh dan melihat Gerhan yang masih diam di dalam air dengan kedua tangan terkepal kuat. Air matanya kembali lolos sebelum ia berkata, “Kamu tau, ini HP hadiah terakhir dari ayah aku.”

Gerhan bergeming di pijakannya. Saat perempuan itu mengatainya dengan sebutan ‘miskin empati’, jujur saja dia tersinggung. Ada sesuatu yang menyentil hatinya. Namun, setelah mendengar kalimat terakhir yang Bunga katakan Gerhan sadar, kali ini dia yang bersalah. Dia benar-benar sudah kelewat batas.

⚫ ⚫ ⚫

..••°°°°••..

Bersambung

°°••....••°°

Terima kasih untuk yang sudah mampir💙

200821


Find Yourself!Where stories live. Discover now