1: Sesuatu yang ❛Sempurna❜

1.8K 147 23
                                    

Note:
Aku tahu, part-part awal akan membosankan. Tapi, aku mohon bertahanlah dan terus membaca hingga kamu menemukan titik keseruannya.

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

⚫ ⚫ ⚫

Katanya, kekurangan dan kelebihan ada untuk saling menyempurnakan. Tapi nyatanya, tidak ada satupun kata 'sempurna' itu hinggap dalam hidupnya. Bunga merasa, dia adalah satu-satunya orang yang sangat tidak beruntung, lahir sebagai perempuan yang jauh dari kata cantik, baginya adalah suatu kutukan.

Bunga menyukai sesuatu yang sempurna, sesuatu yang terlihat indah, rapih. Tapi mengapa, justru dirinya sendiri jauh dari kata sempurna? Bahkan dengan lantang Bunga berani untuk meneriakkan pada dirinya sendiri bahwa dia adalah nol besar, kosong. Dia buruk rupa. Jerawatan, gemuk, hitam, dan jangan lupakan tanda lahir besar yang tercetak di wajah kirinya. Tidak cantik sama sekali, semua apa yang ada dalam dirinya adalah sebuah kekurangan.

Jika dia tahu bahwa menuju dewasa itu adalah hal yang paling menyulitkan, maka dia tidak mau terlahir ke dunia ini. Setaunya, dulu—semasa kecil adalah yang paling menyenangkan, bermain bersama teman-teman baik perempuan maupun laki-laki mengejar layangan di bawah teriknya matahari, bermain boneka barbie di bawah teduhnya pohon mangga di lapangan gang, atau bermain rumah-rumahan yang dimana dia selalu menjadi seorang ibu.

Sungguh masa kecil adalah masa-masa yang paling membahagiakan. Bermain, bermain, dan bermain tanpa perlu memikirkan masalah-masalah yang dihadapi orang dewasa.

Jalan menuju kedewasaan itu merepotkan, sungguh. Padahal, dia masih berada di tahap mencari jati diri, masa-masa remaja yang dimana, katanya adalah masa-masa memorable. Tapi, tidak sekalipun seorang Bunga merasakan kenangan-kenangan remajanya saat ini akan menjadi suatu kenangan yang berharga. Justru, masa remajanya ini adalah tiga dari beberapa bagian kutukan dalam hidupnya.

“Woi, Gentong!” Suara teriakan yang paling menyebalkan itu menyapa rungunya.

Bunga yang tadinya menyabuti rumput-rumput liar di belakang rumah majikannya mengangkat kepala. Mata bulat itu berlari ke sosok yang tadi meneriaki dirinya dari radius tiga meter di depannya. Duduk di bawah pohon jambu beralaskan karpet, bermain karambol bersama teman-temannya.

“Oi Gentong, Lo budeg?!” Mata tajam itu menyorotinya penuh kekesalan. Dan ini adalah kutukan ketiga—anak satu-satunya dari majikannya— dalam hidup Bunga.

Bunga mendesah dalam hati, kemudian berjalan mendekati anak majikannya. “Y-ya?” tanyanya sedikit terbata.

“Selain budeg, lo juga dungu ya? Nggak bisa bedain mana rasa cocopandan mana rasa jeruk?! Dasar tolol!” maki laki-laki itu.

Sumpah demi apapun, Bunga ingin menangis bercampur marah. Ketiga teman-teman dari laki-laki itu yang tadinya asik bermain, kontan menatap dirinya. Bunga benci seperti ini, menjadi pusat perhatian, namun dia hanya bisa meremas celana kulot hitam miliknya

“Di dalam habis, ja-jadi aku bikinin sirup yang rasa cocopandan.” Bunga menunduk, melihat kedua tangan yang meremas kuat celananya, “maaf,” sesalnya.

Laki-laki itu berdiri, berkacak pinggang. “Maaf apa?” tuntutnya.

“Ma-af?” Bunga menengadah, bingung. Menatap sorot kebencian itu.

“Tu-an. Panggil gue Tuan! Ingat lo itu babu gue, ngerti?” peringatnya. “sekarang ganti ini sirup, gue maunya rasa jeruk ya! Kalo di dalem abis ya tinggal beli, apa susahnya?! Bokap Nyokap gue bahkan bisa beli sama pabrik-pabriknya. Plis ya nggak usah kek orang susah!”

Bunga mengangguk. “Iya, Tuan,” ucapnya kemudian hendak berbalik, namun urung saat anak majikannya kembali meneriakinya.

“Gelasnya dibawa, bodoh!” makinya lagi. “Nggak lama gue siram ya lo, bikin orang kesel aja,” geram laki-laki itu seraya mengayunkan gelas di tangannya—yang isinya hampir mengenai wajah Bunga jika saja tidak ada tangan lain yang menahan.

“Udah,” ujar suara yang menghentikan aksi anak majikannya. Bunga tidak tahu sosok itu siapa, karena ia tidak berani untuk sekedar mendongak, kepala gadis itu tertunduk dalam. “Mending lanjut main,” sambung laki-laki tadi.

Kemudian Bunga berlalu setelah anak majikannya mengusirnya, meminta untuk dibawakan sirup rasa jeruk.

Dia Gerhan. Gerhana Adhitama Putra, anak dari majikan ibunya. Dan Bunga, sangat-sangat-sangat membenci Gerhan.

Jika dia mempunyai kekuatan super, Bunga bahkan akan mengenyahkan manusia seperti Gerhan dari muka bumi ini. Dia bersumpah!

彡✿❦彡✿❦彡✿❦彡✿❦

Seperti pagi-pagi sebelumnya, Bunga selalu pergi ke sekolah pagi-pagi buta. Hanya ada satu alasan; Bunga tidak menyukai keramaian. Menghindari berjalan di tengah-tengah koridor kelas yang ramai dan mendengar perkataan-perkataan buruk tentang dirinya, tentang fisiknya, tentang dirinya yang ..., buruk rupa.

Namun sepertinya pagi ini Bunga kecolongan. Sesampainya di kelas, Renata—teman sekelasnya sudah duluan berada di kelas, mendahului Bunga yang selalu hadir pertama setiap harinya.

Renata tersenyum manis dari tempatnya duduk—di barisan tengah. Bunga ikut tersenyum, canggung. Aneh rasanya, tidak biasanya gadis jelita itu mau menyapa atau bahkan sekedar tersenyum seperti ini padanya, ada apa?

Bunga mendaratkan bokong di bangku, tepatnya di barisan depan dekat pintu. Mencangklongkan ransel pada bahu kursi, lalu mengeluarkan earphone dan handphone—yang bisa dikategorikan ‘jadul’ miliknya.

Baru akan mengenakan earphone dan menyalakan musik, namun ketukan ringan di atas meja menjeda kegiatannya. Bunga menatap jemari putih itu, kemudian mendongak untuk mendapati Renata yang tersenyum manis seperti tadi, imut sekali.

Bunga mengerutkan alis. “Ada apa, Ren?” tanyanya kemudian.

Renata tersenyum, kali ini memperlihatkan deretan giginya yang rapih. Cantik sekali, Bunga akui itu. Dia bahkan iri dengan kecantikan yang dimiliki Renata, sang primadona kelas. “Kamu sudah tugas Matematika yang di LKS?” tanya Renata dengan suaranya yang lembut.

Oh, rupanya ini, alasan dibalik senyuman manis gadis jelita itu. Bunga bahkan bisa menebak bagaimana ini akan berakhir.

“Sudah,” jawab Bunga sembari mengangguk.

“Boleh aku lihat?”

Tidak heran. Bunga sudah menduga endingnya, 'kan? Jadi, mari kita lihat bagaimana ini akan berakhir.

⚫ ⚫ ⚫

..••°°°°••..

Bersambung

°°••....••°°

230221

Find Yourself!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora