2: Bunga dan Kupu-Kupu

727 102 22
                                    

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

⚫ ⚫ ⚫

Dalam hidupnya, Bunga memiliki prinsip; jika dia tidak cantik, setidaknya dia harus pintar atau minimal rajin—mengerjakan tugas-tugas sekolah. Dengan prinsip yang dia pegang, setidaknya itu bisa dijadikan alasan untuknya agar tetap ‘diakui’, ‘kan?

Bunga akui, dia memang tidak terlalu pintar, namun juga tidak bodoh. Meskipun bukan di peringkat pertama, setidaknya dia masuk dalam peringkat tiga besar. Bunga selalu berusaha, agar dia dapat mengerti semua materi yang dijelaskan oleh guru, juga rajin mengerjakan tugas-tugas tepat waktu.

“Makasih ya,” ujar Renata seraya mengembalikan buku latihan Matematika milik Bunga. Tentu saja, setelah menyalin tugas essay lima soal yang sudah Bunga kerjakan sepenuh hati dua hari yang lalu.

Dengan sedikit tersenyum, Bunga mengangguk. “Iya, sama-sama.”

Lalu setelah itu, Renata kembali ke tempat duduknya. Tidak ada basa-basi lagi, Renata tersenyum dan datang padanya hanya karena membutuhkan contekan. Bunga tidak heran lagi akan hal tersebut, satu yang bisa dia petik bahwasannya; dia masih dibutuhkan, Bunga berguna dan setidaknya dia terlahir tidak untuk sia-sia.

Orang-orang datang lalu pergi, bukan? Tidak ada yang menetap kecuali diri sendiri. Lagi pula, kupu-kupu hanya datang pada bunga jika dia membutuhkan nektar. Kemudian pergi, terbang bebas mengepakkan sayap indahnya. Meninggalkan bunga dengan kesepian yang membelenggu.

Bunga melipat kedua tangan di atas meja lalu menelungkupkan kepala. Matahari terbit sudah semakin tinggi, menyinari ruang kelas melalui pantulan kaca jendela dan ventilasi. Satu persatu teman sekelasnya berdatangan dan sunyi tadi sudah berganti kebisingan suara-suara mereka.

“Yon, liat tugas MTK lo dong,” sayup, dengan telinga yang tersumpal earphone Bunga mendengar salah satu suara teman laki-lakinya.

Arion—si ketua kelas sekaligus murid yang menduduki peringkat 1 di kelas ini—menggaruk alis tebalnya. “Emang ada tugas ya? Kok gue lupa, sih?”

Reno menatap Arion penuh takjub. “Lah? Hahaha beneran lo lupa?” Dia tertawa, “seorang Arion Rafardhan melupakan tugas? Waw luar binasa,” ucapnya seraya bertepuk tangan heboh.

“Alay,” cibir Arion kemudian mendudukkan diri di bangkunya. “Waktunya tinggal 15 menit nih, nggak sempet keknya kalo gue ngerjain sendiri,” gumamnya sembari membuka buku latihan.

“Kenapa harus kerjain sendiri kalo bisa nyontek?”

Arion memutar bola mata malas mendengar celetukan Reno. Kemudian mengedarkan pandang, menatap kumpulan siswa yang bergerumul di bangku barisan tengah—tepatnya di tempat duduk Renata. Arion menyikut lengan Reno.

“Apa?” tanya Reno tidak mengerti dengan kode yang dilemparkan teman sebangkunya itu padanya. “Lo ngapain sih ngangguk-ngangguk dagu, nggak usah kode-kodean kek cewek ya, susah ditebak.”

Arion menghela napas. “Mereka ngapain ngumpul di situ?” tunjuk laki-laki itu mengarah pada kerumunan di tengah-tengah kelas.

“Nyonteklah! Apa lagi? Kuy ah, gue juga mau nyontek sama peri cantik. Lo ikut atau nggak terserah!”

Reno sudah berlalu, Arion menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan, sisa sepuluh menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Tidak ada waktu untuk mengerjakan, sepertinya kali ini menyontek akan lebih baik.

彡✿❦彡✿❦彡✿❦彡✿❦

Bunga merapikan tumpukan-tumpukan buku tugas teman sekelasnya. Kebetulan, dia diminta agar mengumpulkan buku-buku itu ke ruangan pak Rudi—guru Matematika.

“Woi, semua sudah pada ngumpul buku kah?” teriak Friska di samping Bunga, membantu merapikan tumpukan buku-buku tulis itu.

Tidak ada yang menyahut. Friska jadi kesal sendiri, teman sebangku Bunga itu menepuk bahunya pelan. “Sudah pas 32 belum?”

Bunga yang baru selesai menghitung jumlah buku mengangguk. “Iya,” gumamnya.

“Ya udah, ayo kumpul!”

Tumpukan buku itu dibagi dua dengan Friska, mereka berjalan keluar kelas sambil memeluk buku-buku itu. Bunga mendesah dalam hati ketika mendapati beberapa teman laki-lakinya berdiri di depan pintu kelas, menghalangi jalan.

“Was awas,” tukas Friska melewati mereka untuk membelah jalan. “Ngapain sih nongkrong di depan pintu? Kayak nggak ada tempat lain aja,” omel gadis itu.

“Jangan marah-marah dong, untung cantik!” timpal Reno tertawa.

Bagaimana ini? Friska sudah keluar dan Bunga masih terjebak di dalam kelas. “Permisi,” ujar Bunga pelan.

“Eh, si Gentong mau lewat. Minggir-minggir woy, kasih jalan buat Gentong hahaha,” Adam tertawa-tawa seraya menyuruh yang lain untuk menyingkir.

Baiklah, Bunga hanya perlu menebalkan wajah dan menulikan pendengaran. Maka, gadis itu menerobos pintu keluar kelas yang entah mengapa jalannya terasa begitu panjang.

“Awas ja ...,”

Belum selesai Reno berbicara, Bunga jatuh terjerembab ke depan karena ulah laki-laki itu yang dengan sengaja menyandung kakinya.

“... tuh. Tuh, ‘kan belum selesai gue ngomong, udah jatuh aja.”

“Kenapa jatuhnya nggak nge-gelinding aja sih?! ‘Kan lucu gitu liat gentong bergelinding.”

Suara-suara ejekan itu terdengar menertawakan dirinya yang hina. Bunga memejamkan mata, menatap sepasang sepatu di depan wajahnya. Gadis itu mendongak, menatap sang empunya yang ternyata adalah Arion yang tengah tersenyum kecil meremehkan.

Ya Tuhan, kenapa dia harus jatuh di depan seorang Arion Rafardhan? Mau taruh di mana wajahnya ini, rasanya Bunga benar-benar ingin menghilang sekarang.

“Apa lihat-lihat?” kata laki-laki itu.

“Keterlaluan banget sih kalian!” Friska membantunya kembali berdiri dan memunguti buku-buku tulis yang berserakan di lantai.

“Serius amat Neng, ini cuma becandaan doang kali, buat seru-seruan doang. Iya, ‘kan, Bunga?”

Bunga diam, kembali membawa buku-buku itu ke dalam pelukannya. Berjalan tanpa menghiraukan mereka.

“Nah, ini si peri cantik mau lewat, ayo kasih jalan untuk peri penolong kita ini yang udah ngasih contekan Matematika tadi.” Reno bertepuk tangan heboh.

“Udah cantik, pinter, nggak pelit nyontekin tugas lagi,” puji Adam menimpali.

Renata dengan senyum manisnya hanya tertawa kecil. Bunga masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Bunga sudah mengatakannya, 'kan? Dia sudah bisa menebak bagaimana ending dari kisah ini. Kita hidup di mana orang-orang hanya menghargai rupa dan fisik. Bunga jauh dari kata cantik, maka keberadaannya tidak akan diakui, dia tidak dianggap dan dia tidak terlihat. Dia terlahir hanya sebagai alat untuk dipergunakan bagi mereka yang terlahir jauh lebih baik darinya.

Bunga tahu itu, Renata memanfaatkannya untuk mendapatkan sebuah pujian. Untuk sebuah pengakuan. Mirisnya, mengapa seorang Renata memerlukan itu semua? Bukankah dia sudah cantik? Jika dibandingkan dirinya, Renata jelas kupu-kupu dengan sayap yang indah, yang mampu terbang bebas di atas sana.

Tidak seperti dirinya yang jika diibaratkan bunga, dia adalah bunga bangkai. Orang-orang bahkan enggan untuk mendekatinya.

⚫ ⚫ ⚫

..••°°°°••..

Bersambung

°°••....••°°

240221

Find Yourself!Onde histórias criam vida. Descubra agora