25: Tentang Rasa

321 58 9
                                    

Selamat Membaca

꧁ Selamat Membaca ꧂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⚫ ⚫ ⚫

Arka tidak bisa memungkiri, bahwa sedari tadi bibirnya terus berkedut menahan diri agar tidak tersenyum.

“Kak Arka ... masih marah?”

Bunga mengekor di belakangnya. Perempuan itu tampak kesusahan menyejajarkan langkahnya dengan langkah lebar laki-laki itu.

“Kak Arka, aku minta maaf,” kata perempuan itu lagi dengan nada memelas.

Oh ayolah, Arka sudah tidak tahan untuk berpura-pura merajuk dan sok jual mahal pada Bunga lagi. Sudah dua hari ia mengabaikan perempuan itu. Tadi pun saat di kantin ketika tatapan mereka bertemu beberapa kali, Arka yang selalu memutuskan duluan.

Huft, baiklah. Arka benar-benar sudah tidak tahan, memangnya mau sampai kapan ia terus mendiami perempuan menggemaskan seperti Bunga ini. Dia tidak setega itu. Laki-laki itu menghentikan langkah kakinya tiba-tiba, membuat Bunga yang mengekor di belakang hampir menubruk bahu lebar itu jika ia tidak segera mengendalikan kedua kaki besar miliknya.

“Kak, aku—”

“Gue masih marah!” potong Arka tegas. Laki-laki itu mengucapkannya tanpa membalikkan badan. Diam-diam, tanpa Bunga ketahui bahwa Arka sedang berusaha mengenyahkan senyuman yang masih bertahan di kedua sudut bibirnya dengan susah payah. Astaga, kenapa senyuman sialan ini tidak bisa luntur sebentar saja.

“Iya, makanya aku minta maaf, Kak.”

Arka membalikkan tubuh, tentu saja setelah ia berhasil menetralkan ekspresi wajahnya. “Lo harus dikasih hukuman.” Biasanya, selalu ada nada jenaka yang terselip setiap kali Arka berbicara padanya, tetapi kali ini laki-laki itu berucap datar.

Hukuman lagi. Kenapa Gerhan dan Arka senang sekali memberi hukuman, sih? Kemarin baru saja ia menerima hukuman dari Gerhan karena katanya, Bunga sudah mulai berani memberontak. Tahu hukuman apa yang Gerhan berikan padanya? Laki-laki manja itu meminta Bunga untuk mengejarnya yang melaju bersama motor miliknya, berlarian di pinggir jalan seperti orang tidak waras. Sinting memang.

Bunga menelan saliva susah payah. “Hu-hukuman?”

Arka mengangguk tegas. Laki-laki itu bertolak pinggang di hadapannya, persis seperti seorang ayah yang memarahi anaknya saat telah melakukan kesalahan.

“T-tapi jangan yang berat-berat,” pinta Bunga pasrah.

Bunga mendongak. Mata bulatnya beradu tatap dengan netra hitam milik Arka yang rasanya selalu teduh itu. Namun, kali ini terlihat menyeramkan. Seringai perlahan muncul di sudut bibir Arka.

Laki-laki itu menggulung lengan kemeja seragam sebatas siku. Tangan kanannya terkepal dan tangan kiri mengelus kepalan tangan kanan itu. Lagi-lagi Bunga menelan salivanya, tenggorokan perempuan itu serasa tercekat. Apa Arka akan meninju dirinya seperti saat laki-laki itu memukul Gerhan tempo hari?

Find Yourself!Where stories live. Discover now