Empat Puluh

1.4K 195 25
                                    

(Author's POV)

Hugo membuka pintu masuk rumahnya dan melangkah ke dalam, disusul Addo dibelakangnya. Namun baru satu langkah ia lewati, Hugo berhenti. Pandangannya sedikit terbelalak dan dahinya berkerut menunjukkan keterkejutan.

Ia jelas melihat Greyson sedang duduk di sofa ruang tengahnya. Si hantu pun tak kalah terkejut melihat ke mereka berdua, namun Hugo tahu bukan dirinya yang menarik perhatian Greyson. Tapi tentu saja, Addo.

"Ada apa, Paman?" tanya Addo bingung sembari melangkah ke depan Hugo. Seketika Hugo tersadar lalu menggeleng pelan. Dialihkannya pandangan dari arah sofa. "Tidak ada apa-apa," sahutnya. "Mini studioku ada di belakang. Ayo."

Hugo kembali menangkap tatapan mata Greyson ketika ia dan Addo berjalan melewati sofa, menuju ke bagian belakang rumah. Malah, Hugo bisa merasakan Greyson tak memutus perhatiannya sama sekali dari mereka berdua. Pria itu sengaja mempercepat langkahnya. Tapi dia berkeinginan kembali lagi kesana dan menemui Greyson secepatnya, mencari tahu ada apa sehingga dia tiba-tiba muncul di rumahnya.

Dari ruang tengah, mereka tiba di dapur. Di samping dapur ada tangga yang terbuat dari kayu. Hugo mengajak Addo ke atas. "Hati-hati."

Disanalah mini studionya berada. Hanya ada dua ruangan di lantai dua, yang satu adalah kamar tidur, sedangkan satunya lagi—yang memiliki pintu bercat hitam dengan stiker "Keep Outta Here" tertempel—adalah mini studionya.

"Wow," Addo bergumam penuh kekaguman. Ruangan itu terisi lengkap dengan set alat musik. Launchpad, stereo, komputer, microphone, headphone, gitar, keyboard, juga drum ada disana. Melihat gitar, Addo langsung meletakkan tas sekolahnya di dekat pintu dan mendekati gitar akustik tersebut di sudut ruangan.

"Paman punya gitar dan drum?" tanya Addo sembari mengambil gitar. Dia lantas duduk bersila di lantai. Tangannya langsung sibuk mencoba senar gitar.

"Kadang-kadang aku memainkannya," jawab Hugo. "Kau bisa main gitar, eh?"

Addo mengangguk, tangannya masih sibuk memetik senar gitar. Hugo langsung menyadari itulah kesempatan baginya.

"Aku turun sebentar ya, kau main saja dulu disini." Dia kembali menangkap luka di wajah Addo. "Aku akan mengambilkanmu obat."

"Oh, oke. Thanks Paman."

Hugo langsung bergegas turun ke lantai satu. Dicarinya Greyson di ruang tengah, tapi tidak ada siapa-siapa disana. Aura keberadaannya bahkan hilang total, Hugo bisa merasakannya.

Apa aku tadi salah lihat? batinnya. Padahal dia yakin Greyson tadi duduk di sofa sana, menatapnya dan Addo. Hugo yakin ada maksud dari kedatangan Greyson ke rumahnya, tapi entahlah apa, dan sekarang dia tidak bisa bertanya karena sosok itu sudah menghilang lebih dulu.

Hugo juga tidak berusaha mencari Greyson sama sekali. Dia hanya mencari kotak P3K dari lemari ruang tengah dan naik lagi ke lantai dua.

***

Keesokan harinya, Matt mencerca Addo dengan banyak pertanyaan ketika mereka bertemu di homeroom.

"Kau kemana saja kemarin? Aku mencarimu!" kata Matt.

"Aku bolos," jawab Addo singkat. Ekspresinya jelas tak terlalu tertarik dengan topik pembicaraan. Tapi respon dari Matt justru sebaliknya. Dia tahu betul sahabatnya tak pernah membolos apapun sebelumnya.

"Kenapa?"

Addo menghela napas. "Nanti aku ceritakan," katanya sembari membuang pandang dari Logan dan Alice yang sedang berciuman di bangku pojok. "Aku lebih tidak habis pikir dengan mereka. Kadang bertengkar secara ekstrim, kadang bermesraan tak tahu aturan."

"Seseorang cemburu—atau sakit hati, ya?" Matt justru menggodanya.

Addo hendak membalas, namun saat itu, seseorang tiba-tiba menarik kerah bajunya kasar. "Urusan kita belum selesai, Chance!"

Addo balas menatapnya menantang. "Oh, jadi kau mau melanjutkan yang kemarin?"

Suasana di homeroom seketika hening. Semua mata tertuju pada mereka berdua: Addo dan Jason. Mereka berdua tidak ada yang terlihat ingin mengalah. Matt yang gusar di tempat duduknya langsung berdiri dan mencoba melerai keduanya.

"Hei, hei sudahlah!" Matt melepaskan cengkraman Jason dari kemeja putih Addo. Kemudian dia menarik pundak sahabatnya mundur. "Kau mau berkelahi di sekolah? Jangan, sobat, jangan!" Matt membisiki Addo, "Bukan mentang-mentang ibumu adalah kepala sekolah, kau bisa berbuat seenaknya, oke? Sama-sama karena sudah mengingatkanmu."

"Hahaha pengecut!" ejek Jason. "Pulang sekolah, di Beverly Street. Awas kau tidak datang, banci." setelah berkata begitu, Jason pergi. Tak lupa dengan menyikut pundak Addo keras saat ia lewat.

"Brengsek!" Addo hendak mengejarnya, sudah sangat ingin menghajar berandal tengik bongsor tersebut detik itu juga kalau Matt masih tidak bersusah payah menahannya dari depan.

"Kubilang jangan! Kau sudah mulai tak mendengarkanku, hah?!"

"Dia dan si sialan Jake membuat hidungku berdarah kemarin! Aku harus mematahkan hidungnya. Sekalian menginjak-injak lemaknya hingga—"

"Addo!" suara lain berseru memotong ucapannya. Addo dan Matt menoleh ke arah suara itu datang dari samping mereka. Alice berjalan menghampiri mereka, raut wajahnya juga marah tapi matanya berlinangan air.

Alice menghampiri mereka dan sebuah tamparan tak terduga darinya mendarat di pipi kanan Addo.

"Aku benci melihatmu yang sekarang," katanya pelan dan setetes air matanya menetes tak terbendung lagi. Mereka berdua bertatapan. Addo maju mendekati Alice.

"Aku juga benci melihatmu yang sekarang, Alice."

Tapi alih-alih membalas dengan tamparan, Addo justru menempelkan bibirnya ke bibir Alice. Semua orang di home room yang melihatnya serempak histeris, terutama Matt yang megap-megap panik seperti ikan serta berseru lantang, "OH MY GOD!" []

---------------------------------------------------------------------------------------

"DIA BELUM MENINGGAL!" []

---------------------------------------------------------------------------------------

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now