Sebelas

2.4K 246 18
                                    

WARN: bad words & violent & bully
Author's POV

Tangan Addo bergerak super cepat menyalin semua rangkuman materi matematika di papan tulis ke dalam catatannya. Bukan hal baru lagi baginya harus menyalin catatan dalam kecepatan tinggi. Alasan utamanya karena dia sekelas dengan Hayley Pole, anak yang setiap bel pelajaran berakhir berbunyi pasti langsung berlari ke depan kelas menghapus seluruh tulisan di papan tulis dengan cepat. Dia bahkan tidak peduli jika ada orang lain yang belum selesai mencatat---justru sebenarnya dia memang sengaja melakukannya. Itu juga salah satu bentuk bully di sekolah tersebut.

Addo melirik jam tangannya lagi. Tersisa lima menit lagi jam pelajaran usai. Kalau dia tidak cepat menyelesaikan catatannya, maka habis sudah. Addo selalu bergantung pada catatannya untuk dipelajari sebelum test, baginya catatannya adalah yang terlengkap dan dia lebih gampang paham kalau belajar memakai catatan sendiri.

Sementara itu guru matematika mereka masih terus menjelaskan sambil menulis di papan. "Jadi, kesimpulannya, kalau a ditambah b sama dengan 10, maka rumus barunya menjadi..."

"Aw!" Addo meringis dan reflek menoleh ke belakang. Jason tertawa tanpa suara bersama teman-teman gengnya. Tidak usah susah-susah mencari tahu, sudah jelas bahwa merekalah pelakunya. Addo memilih untuk tidak peduli dan kembali duduk dengan benar, namun pada saat itu tanpa sengaja dia menoleh ke bawah dan ada sebuah kerikil berukuran lumayan berada tak jauh dari kakinya.

"Mr. Chance, jangan main-main di kelas ini!" bentak Mrs. Reed, wanita paruh baya guru matematikanya. Rupanya "aduh"-an Addo tertangkap sampai ke telinganya.

"Tapi itu bukan salah saya, Mrs.!"

"Saya mendengar Anda mengaduh tadi. Anda pasti sedang bermain selama saya mengajar, iya kan? Sebegitu tidak pentingnya kah pelajaran ini bagi Anda, Mr. Chance?" Mrs. Reed tetap menuduh.

"Itu ulah Jason, Mrs." Alice menyahut tanpa diminta. Semua mata di kelas—termasuk Addo—serta merta tertuju padanya. "Jason melempari Addo dengan kerikil. Saya melihatnya."

Mrs. Reed langsung mengomeli Jason. Addo terkekeh pelan, sebelum berpaling ke Alice dan menggumamkan "terima kasih" tanpa suara. Alice hanya membalas dengan senyum serta anggukan. Addo tahu hal itu cuma hal yang biasa saja, dan konyol kalau sampai harus salah tingkah hanya karena ditolon, tapi dia tidak bisa mencegah betapa wajahnya seketika terasa memanas dan menurut keyakinannya pasti sudah memerah. Buru-buru Addo memalingkan wajah, berusaha kembali fokus ke catatannya meski kini konsentrasinya malah buyar total.

"Saya tunggu Anda di ruangan saya saat jam istirahat nanti, Mr. Gordon."

"Ba-baik, Mrs."

"Okay, anak-anak, kalau begitu, pelajaran kita akhiri sampai disini." Pun Addo tersentak kaget. Buru-buru dia lanjut menyalin tulisan di papan tulis. Kalau Mrs. Reed sampai keluar kelas dan dia belum selesai menyalin semuanya, tamatlah sudah. Addo melirik ke bangku Hayley yang berada di pojok depan. Sesuai dugaannya, laki-laki berambut pirang keriting itu sudah bersiap mengambil ancang-ancang.

"Tapi sebelum itu," lanjut Mrs. Reed, mengambil perhatian semua anak dan kekecewaan sesaat Hayley.

"Saya punya undangan yang harus diberikan kepada kalian semua."

Semua anak langsung saling berbisik-bisik. Austin yang duduk dibelakang Addo sengaja memajukan badan ke depan. "Undangan apa menurutmu?" Tanyanya. Addo hanya menggeleng pelan, sama sekali tak punya ide soal undangan tersebut. Mrs. Reed mengambil sebuah amplop cokelat dari dalam mapnya, dan mengeluarkan setumpuk kartu berwarna hijau muda. Kemudian dia berkeliling ke setiap meja dan memberikannya pada setiap anak. Ketika Addo mendapat undangannya, dia langsung membacanya dan terbelalak.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now