Tiga Puluh Dua

1.6K 198 13
                                    

Author's POV

"BOHONG!" Addo berteriak lepas. Tubuhnya gemetar menahan emosi sekaligus syok. "Nenek, ini tidak lucu!"

"Aku memang tidak sedang bercanda, Addo. Apa yang kau dengar tadi adalah—"

"CUKUP! AKU TIDAK PERCAYA PADAMU! SIMPAN SEMUANYA, AKU TIDAK MAU DENGAR!"

Remaja itu pergi, bukan ke kamarnya melainkan ke luar rumah. Wanita tua yang ia tinggalkan disana mendengar suara pintu terbanting keras sebelum kembali hening.

"Benar-benar omong kosong," Addo menggerutu sendirian di trotoar. Setiap kali bertemu kerikil, dia akan menendangnya dengan keras. Amarahnya naik bahkan sampai di ubun-ubun. Dia benci keluarganya sendiri tidak pernah mau berterus terang soal ayahnya. Dan sekarang neneknya sendiri pun ikut mengatakan hal yang tidak-tidak! Addo menghela napas keras. Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan? tanyanya dalam hati.

Addo pergi ke lapangan tempatnya dan Matt serta Alice sering bermain waktu kecil. Masih ingat waktu mereka merayakan Hari Persahabatan mereka disana? Tapi tempat itu sesepi kuburan dan sesaat ia malah ragu ingin menghabiskan waktu disana. Walaupun kenyataannya dia memang ingin menyendiri.

Addo duduk di ayunan, sesaat teringat beberapa hari lalu ketika bermain ayunan dengan Alice disana. Waktu itu dia bercanda dan tertawa seharian dengan Alice. Addo merekam semuanya dengan sangat baik dalam ingatannya. Ia tersenyum. Itu adalah momen paling menyenangkan yang ia punya sejauh ini.

Tiba-tiba Addo mengusap matanya. Meskipun menampik apa yang dikatakan neneknya tadi, melupakan kalimat itu ternyata tidak segampang yang diperkirakan.

Addo merasa tidak diinginkan oleh siapapun, termasuk Alice. Dia hanya mendapatkan posisi sebagai teman, tidak lebih seperti apa harapannya. Ia merasa tidak diinginkan juga oleh salah satu bibinya, Tiara. Atau mungkin juga oleh seluruh keluarga besar ayahnya; namun Addo tidak tahu kebenaran yang satu itu karena Kakek dan Nenek Chance, Bibi Alexa dan Paman Tanner, semuanya baik padanya.

Sebuah erangan kekesalan campur frustasi lolos dari mulut Addo bersamaan dengan tangannya yang mengacak-acak rambutnya sendiri. Detik berikutnya, dia merindukan ibunya.

"Addo?"

Dia menoleh. Pat mengulurkan tangan dari balik kaca jendela mobil.

"Panjang umur," gumamnya. Ia beranjak dari ayunan kayu dan tanpa diperintah masuk ke mobil.

"Kau sedang apa disana sendirian? Memangnya kau tidak ada PR?" Pat mengelus ubun-ubun lalu turun hingga ke belakang kepala Addo lembut. Itu membuat Addo merasa jauh lebih baik, walau kekesalannya masih tersisa beberapa persen.

"Tidak kenapa."

"Bohong."

"Sungguh, Ma."

"Aku yang melahirkanmu, jadi aku tahu setiap kali kau berbohong, Mr. Chance."

"Mr. Chance?" Addo kembali sedih. Ia membuang pandangan keluar kaca mobil.

"Kau kenapa? Ceritakan Mama, apa ada yang mengganggumu di sekolah?"

Addo menggeleng pelan. "Bukan."

"Lalu?"

Haruskah aku jujur? batinnya bingung.

Pat tetap melirik ke putranya selama menyetir. Namun hingga bermenit-menit, Addo masih membisu.

"Addo? Kau dengar tidak?"

Dia mengangguk. Pada akhirnya hatinya memilih untuk tidak berterus terang dan menyimpan kejadian tadi untuk dirinya sendiri. "Tidak ada apa-apa, Ma. Sungguh."

"Yakin?"

Addo bingung harus menyahut apa, tapi sebuah papan nama besar menyelamatkannya kala itu. "Mama, berhenti di McD yuk!" serunya seraya menunjuk ke depan—papan reklame berupa logo M khas restoran McDonald's menjulang beberapa meter dari mereka. "Boleh ya Ma? Boleh ya?" dia memasang ekspresi membujuk dengan kepala dimiringkan ke kiri serta tangan tercakup didepan dagu, dan melihatnya membuat Pat terkekeh pelan.

"Ya, ya boleh. Tapi jangan lupakan nenekmu di rumah. Kita belikan dia juga."

Sebenarnya Addo menggerutu dalam hati, namun dia memilih untuk mengangguk saja.

***

"Kalau dia laki-laki, kita beri nama Addo. Kalau dia perempuan, kita beri nama Leila."

"Nama yang cantik."

"Kau ingin dia lahir laki-laki atau perempuan?"

"Emmm apa saja boleh, aku tidak terlalu mempermasalahkan soal itu. Yang penting dia lahir sehat dan selamat. Ngomong-ngomong.."

"Ya?"

"Kau benar-benar yakin dengan keputusan ini?"

"Kau sendiri lihat kan, aku tidak akan pernah menyuruhmu mengugurkannya."

"Tapi kenapa Grey? Bukannya ini salah?"

Greyson mengerang sebelum mengusir kenangan yang baru saja berputar dibenaknya. Salah? Iya, Greyson tahu persis dia telah membuat kesalahan! Oh, atau mungkin ralat; sebab sebenarnya itu salah Pat juga. Amarah membuat Greyson merasa ingin menendang atau menghancurkan atau menghajar apapun saat itu. Greyson hanya merasa bahwa semua keputusan yang ia buat dari dulu sampai sekarang sepertinya hanya membawa masalah lagi dan lagi.

Seandainya dia bisa meminjam tubuh seseorang lagi, disaat itu juga dia akan menggunakannya untuk meremukkan barang.

"Kenapa kau kembali?"

"Karena kupikir kita masih bisa melakukannya. Kita bisa membesarkannya berdua."

"Tapi kita berbeda."

"YA AKU JUGA TAHU ITU!" Teriak Greyson setelah satu lagi kenangan-yang-tak-perlu-untuk-diingat malah kembali menghampirinya. Jika ada orang menduga mereka akan melupakan segala hal dari masa hidupnya setelah meninggal, itu salah besar. Mereka justru mengingat segalanya—semua sampai ke detil-detil kecil—dan ingatan tersebut bisa terasa dua kali lebih jelas daripada yang diingat sewaktu masih hidup.

Greyson mengambang mondar-mandir, selain untuk menenangkan diri juga untuk terbiasa kembali ke kondisi arwahnya. Terasa agak aneh baginya kembali mengambang setelah sempat terikat lagi oleh gravitasi. Apalagi tadi dia sempat bernapas. Oke, dia mengaku selama mondar-mandir tadi sempat mencoba menarik oksigen lewat hidung... akan tetapi rasanya kosong. Tidak ada apapun yang berhasil ia hirup, dan dia merasa agak menyesal telah mencobanya.

Sebuah mobil berbelok masuk dengan dua orang yang sedari tadi ia pikirkan didalamnya. Mereka turun dengan beberapa bungkus plastik berlabel McDonald's, restoran cepat saji favorit Greyson juga.

Pat bertemu pandang dengannya dan untuk beberapa saat, wanita itu mematung dengan ekspresi campur aduk. Untung Addo tidak sadar sama sekali dengan reaksi ganjil Pat. Melihat Addo menumbuhkan sebersit keinginan Greyson agar anak itu tidak pergi—atau juga keinginan terdalamnya yang tiba-tiba terasa mendesak agar saat itu juga Addo tahu bahwa ayahnya ada disana. Tapi Pat lebih dulu menyuruhnya masuk ke dalam rumah sehingga Greyson terpaksa mengurungkan niat.

Greyson tahu sekaranglah waktunya untuk membicarakan semuanya lagi dengan Pat. Meskipun mereka sudah sering membahas topik ini selama hampir lima belas tahun, entah bagaimana sepertinya mereka berdua tidak pernah menemukan jalan keluar yang benar.

Seperti yang Greyson rasakan tadi pada dirinya sendiri, bahwa ia selalu merasa apapun keputusannya selalu berakhir dengan kesalahan atau masalah baru. Dan juga seperti yang ia juga harapkan tadi, seandainya dia masih bisa bernapas dia akan menarik napas dalam-dalam karena jujur, dia gugup.

Dia takut akan membuat kesalahan baru lagi. []

A/N update jam 12:06 AM! lol!

Btw masih inget AITN kan? cerita sequelnya, "EXPECTATION" udah ada di my worklist! ;) penasaran? Baca aja wkwkwk

-kiki x

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now