Sembilan Belas

2K 222 15
                                    

Author's POV

Addo dan Tanner duduk di sofa, menonton TV sambil menghabiskan satu paket masing-masing kentang, burger dan cola. Mereka menonton kaset DVD yang disewa Tanner sebelumnya, sebuah film komedi romantis yang masih tergolong kategori dewasa sebab cukup banyak mengandung adegan peluk dan cium yang sensual. Tapi kalau Addo jujur, dia suka dengan aktris wanita utama film serta tidak keberatan melihat adegan peluk-cium itu. Celakanya, Pat pulang ketika satu lagi adegan make-out berlangsung.

Singkat ceritanya, Pat langsung menyuruh Addo masuk ke kamar, dan dia bisa mendengar ibunya meneriaki Tanner beberapa kali. Semenjak saat itu, Paman Tanner jarangberkunjung ke rumah, dan Addo kesalkarena Paman Tanner lah satu-satunya orang yang sering ia ajak bermain video game. Dia juga sering membawakannya makanan. Intinya bagi Addo, Tanner adalah pamannya yang paling baik. Sekarang ia kehilangan paman terbaiknya dan lagi-lagi sendirian di rumah setelah sepulang sekolah. Ibunya sering pulang malam dan Addo sadar dia tidak bisa selalu berkunjung ke rumah Matt. Alice sudah punya Logan, dan Addo benci mengingatnya. Lengkap sudah. Addo resmi sendirian.

Sesampainya di rumah, Addo langsung naik ke kamarnya dan membanting diri keatas kasur. Dia bahkan tidak repot-repot untuk melepas sepatunya. Perasaannya kacau, terutama karena sebagian besar pikirannya masih sering kembali pada Alice.

Ketika pelajaran olahraga hari ini, para laki-laki bermain sepak bola dan Alice terlihat gembira menyemangati Logan yang bermain sebagai penyerang. Addo cuma kebagian jadi kiper. Sepanjang permainan ia harus menahan rasa cemburu berat, yang kemudian berimbas pada kekalahan telak untuk timnya.

Sisa hari ini pun tidak berjalan dengan lebih baik. Addo sekarang benar-benar benci berada satu kelas dengan Alice dan Logan. Guru fisika mereka kebetulan berhalangan hadir, yang seharusnya menyenangkan kalau Addo tidak menghabiskan sepanjang jam kosong itu dengan melihatLogan dan Alice bermesraan. Ingin rasanya Addo menghantam muka Logan dengan meja, tapi nyatanya dia melimpahkan semua kekesalannya pada Matt yang tidak berdosa. Beruntung sahabatnya adalah lelaki yang terlalu baik dan polos, sehingga ia sama sekali tidak keberatan.

Matt adalah maniak game dan dia selalu membawa video game-nya ke sekolah. Perhatiannya tidak pernah lepas dari layar video game-nya ketika Addo mencercanya. Tapi hebatnya, dia mampu mendengar dan paham semua kata-kata yang Addo ucapkan dengan sangat baik. Dia tertawa sambil melakukan duel dengan monster gara-gara Addo mengaku dulu sempat mengira Alice menyukainya.

"Ya ampun, Alice dan aku tidak pernah akan menjadi kombinasi yang bagus," kata Matt. Prajurit dua dimensinya melompat untuk menghindari serangan monster berbentuk wortel raksasa.

Addo menggaruk bagian belakang leherku kaku. "Soalnya diantara kalian bertiga, kau yang lebih dekat dengan Alice. Ngomong-ngomong kenapa kau menyerang wortel? Dia enak, aku suka memakannya."

"Karena wortel yang ini jahat. Percaya padaku, kau tidak mau memakan—akh tidak!" Matt heboh sendiri sejenak saat prajuritnya terkena serangan monster dan berkedip-kedip tanda kehilangan power. "Sialan. Mati kau!" Dia berkonsentrasi penuh pada game, menekan tombol-tombol dengan gerak cepat. Addo memerhatikan bagaimana sahabatnya berhasil memenangkan pertarungan tersebut pada akhirnya. Matt bersorak girang, mengangkat tangan kanannya untuk melakukan tos dengan Addo.

"Oke, kembali soal kau dan Alice," Matt melanjutkan, begitu pula game-nya yang melanjutkan ke level baru. "Kita bertiga ini teman dari kecil, astaga, kau tega sekali cemburu padaku."

Addo bersandar di kursinya, tangan bersilang didepan dada. "Kapan-kapan kau harus coba berada di posisiku."

"Haha, tidak usah, makasih tawarannya."

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now