Enam

2.5K 254 8
                                    

Author's POV

Sejujurnya Addo susah untuk tidur. Matanya telah terus dipaksa untuk terpejam, tapi siapa yang dia bohongi? Dia sama sekali tidak mengantuk! Apa ini gara-gara obat yang diberikan perawat tadi? Seharusnya obat membuat mengantuk, tapi ini malah sebaliknya.

Sayangnya masalah utamanya adalah bukan pada Addo, melainkan pada ibunya yang pasti yakin bahwa dia sudah tidur. Belakangan ini Addo memerhatikan ibunya tampak sangat lelah. Kalau Addo membuka mata dan bilang tidak bisa tidur, ibunya pasti akan ikut begadang demi menemaninya terjaga sepanjang malam. Addo memutuskan baik ia tetap pura-pura tidur.

Saat itulah dia masih mendengar suara ibunya sedang mengobrol. Mungkin ada salah satu perawat yang datang untuk melakukan kontrol? Tapi saat itu sudah hampir jam 11 malam dan Addo tahu peraturan batas jam menjenguk pasien di rumah sakit. Juga di hari-hari sebelumnya tidak ada perawat manapun yang datang melakukan cek di jam menjelang tengah malam.

Keanehan berikutnya Addo mendengar percakapan tersebut sebagian besar hanya didominasi oleh suara ibunya. Tidak ada suara lain yang menyahutinya, tapi ibunya membalas perkataan orang yang sedang dia ajak bicara itu, siapapun dia. Addo mulai penasaran siapa yang diajak bicara oleh ibunya? Atau jangan-jangan ibunya hanya mengingau? Dia gatal ingin membuka mata tapi tidak boleh, ya kan? Kalau sampai ibunya tahu dia masih bangun sekaligus mendengar percakapannya... Addo tidak mau membayangkan apa yang bisa terjadi.

Maka Addo memilih mencoba menajamkan telinga, fokus supaya bisa mendengar suara lawan bicara ibunya. Usahanya berhasil, secara samar-samar dia mulai mendengar suara lain! Suara yang begitu halus dan pelan, lebih lemah daripada suara bisikan. Dan suara itu, ia rasa, milik seorang laki-laki. Tapi bukan seperti suara bapak-bapak. Lebih muda lagi.

"Kau benar, Pat. Ini noda darah... aku membunuh orang yang mencelakai Addo."

Untuk satu detik yang nyaris, Addo nyaris membuka mata sking terkesiapnya. Apa?! Mem-membunuh?!

"Ap.. Apa?" sahut suara ibunya terkejut.

"Mereka menggantung Addo. Aku yang menolongnya."

Orang ini adalah penyelamatku? Sungguh?

Pikiran Addo kalut setelah mendengar kata "membunuh" dan hal itu menghilangkan konsentrasinya menguping percakapan mereka. Akibatnya, suara lemah misterius itu seketika lenyap. Dengan panik Addo berusaha mencari-carinya lagi.

Orang itu membunuh tiga berandalan itu? Kenapa harus dengan cara itu? Mengapa dia bisa kenal aku dan Mama? Apa dia ...tidak, apa dia orang suruhan Mama? Pikirannya dipenuhi oleh sejuta pertanyaan. Tidak, yang terakhir itu semoga saja tidak benar! Addo tidak mau kalau sampai ibunya sungguh-sungguh membayar seseorang untuk hal seperti itu.

Mana suaranya?! Addo harus mencari tahu maksud dari ucapan aneh tadi! Sial, kenapa dia tidak bisa fokus mendengarkan?! Dia tidak bisa mendengar apa-apa, ada apa ini?!

Addo menjadi sangat kesal, dia tidak tahan lagi! Pencarian tidak membuahkan hasil ini membuatnya tidak sabaran! Addo membuka mata dan bangun dari posisi berbaring. Dadanya sempat terasa sakit seperti tertarik karena mendadak bangun.

"Addo!" Ibunya berteriak terkejut sebelum menghampirinya, "Ada apa, Sayang?" tanyanya penuh kekhawatiran. Tapi Addo tidak menjawabnya sama sekali. Napasnya terengah-engah, begitu pula jantungnya masih berdebar-debar. Disapunya pandangan ke seluruh penjuru kamar, yang selanjutnya mencengangkan serta membingungkannya sebab disana tidak ada siapapun selain dia dan ibunya.

Sementara itu, Pat mencengkram kedua bahu Addo kuat-kuat sambil terus bertanya, "Ada apa?" dan berkali-kali itu pula ia balik bertanya, "Mana orang itu?" sampai akhirnya kepalanya entah kenapa terasa sangat pusing sekaligus berat. Beberapa saat kemudian, pandangan Addo kembali kabur.

***

Pat tidak tahu harus menjawab apa pada Greyson kala itu. Sebagian besar dirinya ingin mereka membicarakan hal lain, seperti Greyson harusnya memberi kesempatan untuk mengatakan kalau ia sangat merindukannya?

Sebetulnya Pat nyaris melakukannya. Dia nyaris bilang, "Aku merindukanmu," pada Greyson, namun satu detik lebih dulu Addo tiba-tiba bangun seperti baru kena mimpi buruk. Dadanya naik turun dengan cepat, dan bunyi napasnya terdengar cukup kuat. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan dengan linglung seperti sedang mencari sesuatu.

"Addo!"

Segera Pat berlari menghampirinya. Kedua bahunya dipegang untuk menenangkannya.

"Ada apa, sayang? Ada apa?!" berulang kali Pat menanyainya begitu dengan panik, namun yang terlontar dari mulutnya hanya, "Mana orang itu?" sampai tiba-tiba matanya terpejam dengan sendirinya, lalu tubuhnya melemas kembali.

"ADDO!" segera Pat membaringkan kembali Addo ke ranjangnya lalu menghubungi dokter dengan telepon khusus disamping ranjang pasien. Dua menit kemudian dokter laki-laki datang bersama dua orang suster. Mereka langsung melakukan pemeriksaan kepada Addo, sedangkan Pat diminta menunggu diluar kamar. Dia melakukannya sambil terus berdoa.

Pat terduduk di kursi panjang disamping pintu. Kepalanya tertunduk, dengan kedua tangan menyangga dahi sementara sikunya bertumpu pada lutut. Dia masih berdoa. Hanya saja kali ini disertai lelehan air mata.

Sejurus kemudian, Pat merasa ada yang menarik kedua tangannya, menggenggamnya erat. Dia menengadah dan mendapai Greyson tersenyum tipis kearahnya. Pat hanya diam balas menatap ke dalam sepasang iris kelabunya.

"Aku menginginkannya. Kuharap kau tidak keberatan," katanya. Kemudian Greyson mendekatkan wajahnya pada Pat sambil memejamkan mata. Pat ikut memejamkan matanya. Tapi disaat wanita itu membukanya lagi, bayangan Greyson sudah lenyap. Didepannya hanya ada koridor rumah sakit yang kosong. Pelan-pelan ia menarik tangannya kembali. Diwaktu yang nyaris bersamaan, pintu kamar rawat Addo terbuka diikuti dengan dokter serta kedua suster yang berjalan keluar kamar.

"Bagaimana keadaan putra saya?" tanya Pat langsung pada dokter. Sang dokter tersenyum. "Dia baik-baik saja. Ada sedikit serangan panik yang membuatnya sesak, mungkin saja Addo bermimpi buruk. Tapi kami sudah melakukan penanganan dan dia sudah kembali tidur lelap."

Pat menghela napas lega. "Syukurlah... Terima kasih banyak, Dok."

"Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu, kami permisi dulu. Jika ada apa-apa, langsung hubungi kami lagi. Selamat malam Mrs. Chance." Tambah sang dokter ramah.

"Tentu saja." Sahut Pat sambil menganggukkan kepala pelan. []

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang