Lima Puluh

1.5K 180 26
                                    

(Author's POV)

Charity night diadakan di akhir pekan Sabtu, dimana sekolah libur. Addo menggunakan waktu pagi harinya untuk tidur, mengingat sebelumnya dia telah begadang sampai dini hari. Dia baru turun dari tempat tidur pada pukul dua sore dan langsung bersiap-siap. Masih terlalu awal juga, namun dia telah membuat rencana untuk ke rumah Matt dulu sebelum ke sekolah pada pukul empat.

Addo mengenakan pakaian yang dia beli waktu itu bersama Hugo, yang mana saat melihatnya malah meningatkannya lagi dengan kejadian tempo hari di Bethany's. Dia masih gusar karena hingga hari ini dia belum juga dapat kesempatan bicara dengan pria itu.

Sembari mengancingi kemejanya, Addo berpikir untuk berbicara dengan Hugo nanti, sepulang dari acara lewat telepon atau besok dengan mendatangi langsung rumahnya.

Begitu selesai, dia pergi ke kamar ibunya untuk bercermin. Penampilannya sederhana namun rapi, cuma pengecualian untuk rambutnya. Kemeja putih lengan panjang yang digulung sesiku dan sengaja dikancing sampai leher. Dia juga membeli sebuah jas hitam yang cocok untuk kemeja tersebut, namun dia tidak akan menggunakannya sebelum sampai di sekolah.

Akan tetapi untuk bawahannya, Addo tidak bisa lepas dari jins. Dia selalu suka bepergian dengan jins. Kali ini dia mengenakan jins berwarna hitam. Sedangkan untuk sepatu, Addo hanya akan menggunakan salah satu dari koleksi sneakers-nya. Entah yang mana, dia sendiri belum memutuskan.

Sesederhana itu penampilannya. Dan sangat jauh dari konsep charity night sekolah.

Pubertas belum begitu tampak pada Addo, namun dia sadar kalau pantulan bayangannya di cermin bertambah lebih tinggi dari yang terakhir ia ingat. Dadanya belum begitu bidang, tapi jakunnya telah tumbuh. Bintik-bintik coklat kemerahan yang dulu sempat ada disekitar area hidungnya semasa kanak-kanak kini sudah lenyap. Bersih total.

Sebentar-sebentar Addo merasa aneh sendiri. Sebab sebelum-sebelumnya dia nyaris tidak pernah memperhatikan dirinya sedetail itu.

Addo menyisir rambut coklatnya, akan tetapi hanya sekedar karena dia selalu suka penampilan rambutnya yang berantakan. Kemudian dia kembali kamarnya, mengemasi perlengkapannya ke tas serta menyemprotkan parfum sebagai polesan terakhir penampilannya. Ia turun ke lantai satu untuk makan. Kebetulan juga ibunya sedang santai membaca majalah serta minum teh di meja makan.

"Pagi, Ma!" sapa Addo seraya mencium pipi Pat, membuat wanita itu terkejut.

"Astaga, kau membuatku nyaris terkena serangan jantung. Dan apa kau bilang? Pagi?"

Addo tertawa sembari meletakkan tasnya diatas meja makan. "Aku baru bangun, jadi wajarlah aku menyapa 'pagi', hehe."

"Alasan yang bagus," sindir Pat kemudian menyesap tehnya. "Mau ke sekolah sekarang?"

"Ke rumah Matt dulu. Nanti berangkat sama-sama." Jawab Addo sambil lalu ke dapur untuk mengambil makanan dari lemari makanan.

"Mau Mama hangatkan lagi makanannya?" tawar Pat dan menyusul Addo. Dengan senang hati Addo langsung mengiyakan. Dia kembali ke meja makan, menunggu disana sembari mengutak-atik handphone.

"Ck, ck, apa ini? Tidak paham konsep jam makan pagi dan makan siang?"

Addo mengangkat wajah dari layar handphone dan bertatap muka dengan neneknya yang tiba-tiba muncul entah darimana.

"Oh, hello grandma." Dia menyapa dengan senyum ramah.

"Kemana saja kau tadi, pemalas? Berleha-leha di tempat tidur hingga pukul tiga?"

"Sebenarnya sih jam dua, bukan tiga," koreksi Addo cuek. Dia benar-benar berharap neneknya akan tutup mulut. Dia tahu, perilaku neneknya sudah benar-benar berubah jika dibandingkan dengan ke yang dirinya waktu kecil. Dulu Addo benar-benar disayang, tapi entah kenapa sekarang dia selalu serba salah didepan neneknya itu. Addo tidak membenci neneknya, hanya seringkali malas untuk peduli pada ucapan neneknya.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now