Dua Puluh Dua

1.8K 196 9
                                    

Author's POV

Kriiiinnggggg!!!

Kelopak mata Addo perlahan terbuka begitu mendengar dering alarm. Salah satu tangannya keluar dari selimut dan bergerak mencari-cari sumber bunyi. Duk! Prang! Dia merasa tangannya menyenggol sesuatu disaat yang sama dia berhasil mendapatkan jam alarmnya. Namun dia tidak peduli. Kepalanya terasa agak pusing, jadi begitu dia mematikan alarm, dia menutup seluruh mukanya dengan bantal. Dan anak itupun tertidur kembali selama beberapa menit.

Dia terbangun untuk yang kedua kalinya begitu mendengar pintu kamarnya di ketuk dari luar. "Addo!"

"Oh Tuhan..." Addo mengerang pelan. Kepalanya masih sakit. "Hari apa sekarang?"

"Addo, ayo bangun, Sayang! Matt dan Alice menunggumu diluar."

Seketika hatinya mencelos setelah mendengar nama "Alice". Lalu dia lebih penasaran mengapa dua sahabatnya itu tiba-tiba berkunjung pagi-pagi?

Jadi Addo pun bangkit dari tempat tidurnya. Dengan langkah gontai dan menahan pusing, dia membuka pintu dan mengikuti ibunya turun. Seluruh penampilannya berantakan, terutama rambut coklatnya. Malah dia masih menguap sesekali ketika sudah bertemu dengan teman-temannya di ruang tengah.

"Hei Do, kau dengar aku tidak?" Matt menjentikkan telunjuk beserta ibu jarinya didepan muka Addo yang masih kusut. Addo membalasnya dengan anggukan lemah sekali.

"Apa kau sakit?" tanya Alice.

"Tidak, aku hanya—hoam... Kurang tidur, kurasa," kilahnya. Dadanya terasa sedikit panas mendengar Alice bicara padanya. Juga ada perasaan bahagia meluap-luap dalam dirinya. Sebenarnya Addo sangat merindukan gadis itu. Tapi dia sadar kalau mereka hanya akan menjadi teman, baik itu sekarang maupun seterusnya.

"Oke, jadi kau tahu kan mengapa kita kemari?" selidik Matt, matanya menatap Addo tajam dari balik bingkai kacamatanya. Addo membalas dengan tatapan lugu. Sedetik berselang dan tanpa jawaban apapun keluar dari mulut sahabatnya, Matt langsung menjawab pertanyaannya sendiri, "Oh ayolah! Ini hari persahabatan kita, bro!"

Hari persahabatan? Ulang Addo dalam hati. Selanjutnya dia menepuk tangannya sendiri sekali dengan keras, bersamaan dengan mulutnya yang membentuk bulatan O. Otaknya memerlukan waktu sedikit lebih lambat untuk bekerja.

Addo, Matt dan Alice adalah teman sejak di taman kanak-kanak. Mereka pergi ke sekolah yang sama hingga detik ini. Seperti juga yang kau sendiri bisa lihat, mereka bertiga adalah teman dekat, tapi Addo lupa siapa yang memiliki ide menetapkan tanggal tujuh September sebagai hari persahabatan mmereka. Ataupun alasan kenapa mereka bisa memiliki hari persahabatan. Kalau dia tidak salah, ide tersebut tiba-tiba saja muncul dan disetujui—hei, setiap orang pasti pernah saja secara tiba-tiba, tanpa memerlukan alasan khusus, melontarkan sebuah ide cemerlang, ya kan? Lagipula persahabatan yang spesial memang tidak akan lengkap jika tidak punya sesuatu sebagai 'penanda' seperti tanggal anniversary atau markas rahasia.

Persahabatan spesial sampai salah satu dari mereka bertepuk sebelah tangan yang lainnya.

"Oh, okay. Jadi kita akan melakukan apa sekarang? Sekarang bahkan masih jam tujuh pagi," kata Addo, sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan agak malas. "Tujuh pagi di akhir pekan," koreksinya.

"Kita bisa berjalan-jalan," jawab Matt lagi, nyaris tanpa berpikir. "Ke tempat main kita waktu SD, ingat?"

***

Tempat ini tidak banyak berubah, batin Addo pertama kali begitu tiba di lapangan yang dimaksud. Sebuah tanah lapang tanpa nama tempat dimana Addo, Matt dan Alice selalu main setiap pulang sekolah sewaktu masih di taman kanak-kanak. Disana ada perosotan, ayunan, jungkat-jungkit, boks pasir dan juga tiang panjat. Sampai sekarang pun benda-benda itu masih ada, hanya saja besinya sudah berkarat serta catnya banyak yang luntur.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang