Satu: 10 tahun kemudian

4.7K 307 14
                                    

Author's POV  

Sinar matahari bersinar dengan terik, seolah ikut memanas-manasi pertandingan bisbol yang tengah berlagsung di halaman sekolah Cheyenne Middle School kala itu. Pertandingan dilakukan oleh tim UP!--tim Cheyenne Middle School--melawan tim Black Jet, tim dari sekolah tetangga mereka, Russet Middle School. Sebagian besar anak tampak tidak keberatan dengan panas serta teriknya matahari; mereka terus berteriak hingga tenggorokan mereka kering.

Kecuali satu orang, yang barusaja mendapat giliran menjadi pemukul.

"PUKUL BOLANYA!!!!"

"SEMANGAT ADDO!!!"

"JANGAN SAMPAI KITA KALAH!!!!"

"AYOO CHANCE!!"

Addo Chance melangkah ke dalam lapangan dan mengambil posisi dengan jantung berdebar-debar. Suara teriakan teman-temannya bukannya memberi efek menyemangati malah membuat telapak tangannya pada stik pemukul berkeringat. Yang lain berharap banyak padanya setelah dia mencetak home run pada pertandingan terakhir UP! melawan tim dari Winter Middle School. Dia berani bertaruh semuanya berharap Addo bisa mencetak home run lagi kali ini. Tapi masalahnya, bagaimana dia bisa memukul bolanya jika dia tidak melihatnya dengan jelas?

Kesialan memang kadang-kadang bekerja seperti itu padanya. Pagi tadi Addo terlambat bangun, terpaksa bersiap dengan tergesa-gesa dan akibatnya dia kelupaan memakai kontak lensanya.

Ketegangan membuat Addo melupakan hal yang lebih penting. Berkonsentrasi.

"ITU BOLANYA!!!!" teriak penonton yang histeris karena Addo masih belum siap mengangkat stik pemukul

"Apa?! Mana?!" dia menyipitkan mata ke langit, mencari-cari dimana kiranya arah bola melambung, tapi cahaya matahari dan minus tiga pada kedua mata membuatnya seperti seekor kelelawar yang disorot oleh cahaya tepat di mata.

"Itu dia! Itu di--" PLETAK!

Addo tumbang seketika. Kepalanya berdenyut-denyut akibat terkena bola.

Kerumunan serta merta berubah menjadi sunyi senyap.

***

Bagi anak-anak lain, berada di usia 15 tahun antara menyenangkan atau menyiksa. Menyenangkan karena sebentar lagi kau akan berumur 16 dan artinya kau sudah bisa memiliki SIM. Menyebalkan karena kau ingin segera cepat-cepat berumur 16 saja. Tapi bagi Addo, masa-masa 15 tahunnya sejauh ini cuma berisi hal-hal payah.

Maksudnya terutama dengan orang-orang di sekolahnya. Dia bukan anak yang populer atau banyak bergaul meski ibunya adalah kepala sekaligus pemilik sekolah. Nama Addo cuma sempat tenar sebentar akibat 'keberuntungannya' mencetak pukulan home-run. Itupun cuma sekali saja, lalu kau sendiri sudah lihat jalannya pertandingan hari ini. Tanpa kontak lensa, Addo tak ada bedanya dengan burung hantu disiang bolong. Buta.

Lelaki berambut cokelat itu masih terbaring di tanah, mengerang dengan kedua tangan memegangi bagian dahi kiri. Hingga akhirnya dia merasakan ada yang membantunya bangun.

"Addo, kau baik-baik saja?!" tanya seorang perempuan dengan nada bicara melengking tinggi—tidak, dia tidak membentak, itu aksen khas Inggris. Gadis ini salah satu sahabatnya, Allisa Mahone. Addo biasa memanggilnya Alice.

"Wow, lihat itu kawan! Kau benjol." Timpal suara laki-laki. Addo juga mengenali suara tersebut; dia sahabatnya yang lain, Matt Simpson.

"Bantu aku Matt! Kita harus membawa Addo ke ruang kesehatan!"

"Tidak perlu Alice. Aku baik-baik saja, sungguh." Kata Addo berusaha meyakinkan mereka berdua. Kemudian dia melihat telapak tangannya sendiri, dan bingung melihat ada bercak merah disana. "Hei, apa ini? Apa dahiku berdarah?" tanyanya. Matt dan Alice menjawab "Ya," dan "Kurasa begitu," berbarengan.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now