Sembilan

2.6K 237 9
                                    

Author's POV

"A.. Alice." Addo, berdiri dibelakang Alice, memanggil dengan ragu-ragu. Tapi tak sampai ia perlu untuk mengulang dua kali, gadis pirang yang dipanggil langsung menoleh. "Iya?"

"Mm, ada.. ada yang mau aku k-katakan pada... ummm pada..." Addo ingin menebas lehernya sendiri gara-gara bicaranya yang mendadak tersendat-sendat.

"Pada siapa?" sela Alice.

"Uh, yea, padamu? Eh, iya maksudku padamu." Tawa canggung terlepas dari bibirnya sementara salah satu tangannya mengusap bagian belakang tengkuk. Alice hanya diam saja, menunggu. Addo menarik napas... Sekarang saatnya.

Langsung ia meraih kedua tangan Alice dan mengenggamnya erat. Iris cokelatnya menatap ke dalam mata biru cerah bagaikan langit dari gadis pujaan hatinya, dan ia menarik napas dalam-dalam lagi sebelum bicara to the point.

"Aku menyukaimu."

Alih-alih mendapat balasan, Addo mendengar bunyi Kriiingggg!! Kriiingg!! Kriingg!!!..... nyaring dan buyarlah semua adegan itu.

Atau lebih tepatnya, mimpi itu.

Dengan mata masih terpejam, tangan kiri Addo meraba-raba ke atas lemari kecil disamping tempat tidur, mencari alarm yang heboh sendiri itu untuk mematikannya. Tapi justru tidak ketemu-ketemu.

"Duuuhh!!!" geramnya kesal, lalu menutupi kepala dengan bantal. Usahanya membuahkan hasil, sebab dari bawah sana bunyi alarm lumayan teredam. Dia tidak ambil pusing sebab alarmnya hanya akan berbunyi selama 1-2 menit dan setelah itu akan mati dengan sendirinya.

Singkat cerita, Addo kembali tidur.

***

09:15 AM

Addo mengerjap-ngerjapkan mata untuk yang kedua kali. 'Jam tubuhnya' baru mengirimkan sinyal ke otaknya untuk bangun, maka saat itulah, setelah melakukan beberapa peregangan di kasur, Addo beranjak.

Sambil garuk-garuk kepala, lelaki remaja itu berjalan ke kamar mandi di lantai satu. Kamar mandi rumahnya berada diantara dapur dan ruang tengah. Masih ditengah jalan, tiba-tiba langkah Addo terhenti lantaran melihat ibunya sedang tidur di halaman belakang.

Addo mengucek-ucek mata sekali lagi. "Itu sungguhan Mama?"

Masih tidak percaya dengan penglihatannya, Addo mengganti metode yakni dengan mencubit pipi. Dia meringis, tanda berarti dia tidak dalam kemungkinan tidur sambil berjalan. Tapi hal yang lebih penting lagi adalah pemandangan didepannya tetap tidak berubah. Yang tergeletak di halaman belakang itu memang ibunya!

"Mama!" Addo berlari secepat kilat menuju pintu kaca. Kebingungannya bertambah saat mendapati pintu geser kaca sudah terbuka lebar. Tapi sekali lagi, itu bukan hal yang terpenting. Addo bergegas keluar, menghampiri ibunya. Pat tidur dalam posisi menyamping seperti janin. Lututnya tertekuk, kedua tangannya menyilang memeluk dadanya sendiri. Saat Addo menyentuh pipinya, kulitnya terasa sangat dingin!

"Mama!" Addo menggoyang-goyangkan tubuh ibunya, seiring kepanikan makin bertambah menjalari saraf-sarafnya. "Mama, bangun! Kenapa Mama tidur disini? Kan didalam lebih hangat." Tidak ada respon. "Mama mengigau atau kenapa? Ma,bangun, Ma!"

Kemudian, akhirnya, perlahan-lahan kelopak mata Pat membuka. Senyum otomatis terkembang di wajah Addo. Pat menatap lelaki itu kebingungan, namun Addo sendiri tidak begitu peduli. Ia lega, sebab yang terpenting ibunya ternyata tidak kenapa-napa.

"Grey...son?" gumam Pat lirih.

Addo menggeleng pelan. "Bukan. Ini Addo, anaknya."

Pat mengucek-ucek matanya sebentar. "Ah, iya. Maafkan Mama, Sayang. Kalian tampak sangat mirip."

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now