BAGIAN 51

40 4 0
                                    

"Aluna sedang terpengaruh obat tidur." Dokter Irham menatap teman satu profesi nya, dokter Dito.

"Kondisi lainnya, sangat bagus bahkan Aluna tidak memiliki riwayat penyakit ginjal. Jadi selama ini, Aluna hanya terpengaruh oleh obat tidur saja. Itu alasan kenapa nona Luna sering merasa lelah dan mual." Dokter Irham kembali menjelaskan kondisi Aluna.

Baik Aldi maupun Fatih, keduanya nampak terpaku dengan ekspresi wajah yang berbeda.

"Tidak memiliki riwayat penyakit ginjal? Artinya Aluna selama ini sehat?" Fatih bertanya seolah tak percaya.

"Iya, Pak. Selama ini diagnosa yang dokter Dito berikan adalah PALSU. Saya akan membicarakan ini dengan kepala kedokteran, ini sungguh aib bagi kami para tenaga medis. Saya mohon maaf."

***


"Tidak tahu malu! Tidak tahu berterima kasih! Kamu pikir berapa biaya yang sudah saya keluarkan untuk pengobatan sialan itu, hah?!" Fatih yang selalu bijaksana, yang selalu mengontrol emosinya kini tak bisa dikendalikan, seolah dalam diri Fatih bukanlah dirinya.

Saat ini Fatih dan keluarganya sedang berada dikediaman mereka. Meminta waktu untuk menyelesaikan masalah sendiri. Segera setelah Aluna terbangun dari tidurnya, ia diseret pulang oleh Fatih.

Laras terdiam, entah bagaimana rasanya dikecewakan, dibohongi oleh anak yang ia sayangi. Aluna telah menggores, tidak, ia bahkan telah menancapkan belati tajam di jantung keluarga Hanjaya. Laras hanya diam terduduk di sofa, tanpa ekspresi, hanya menatap kosong pada Aluna yang sedang menangis. Aldi ada disampingnya, memeluk pundak Laras penuh semangat.

Jujur saja, Aldi juga sedang hancur, perasaannya tak karuan. Dilema. Aldi tidak tahu harus marah pada siapa. Jika Fatih kecewa pada Aluna dan melampiaskannya pada Aluna juga, lalu pada siapa Aldi harus mengutarakan rasanya?
Apa pada Aluna?
Pada Nida yang memberi tahu kebenaran?
Atau pada dirinya sendiri? Dia yang menjadi alasan Aluna bertindak seperti itu, karena rasa sayangnya.

"Ayah, Luna minta maaf..." Hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibir kecil Aluna.

Maaf, maaf, dan maaf.
Pada akhirnya hanya penyesalan yang dirasakan.

"Berhenti memanggil saya, ayah!" Bentak Fatih.

"Dengar. Saya bukan tipe manusia yang suka mengungkit, tapi anda memaksa saya melakukannya. Sebelum saya bertindak lebih jauh, sebaiknya anda pergi dari rumah ini, Aluna!" Final, Fatih sudah berada diambang batas kesabaran.

"Gak!" Dengan suara tercekat, Aluna menolak.

"Pergi! Sebelum saya habis kesabaran!"

"Denger penjelasan Aluna dulu, Ayah!" Frustasi, tentu saja.

Helaan nafas terdengar dari mulut Fatih. "Apa? Apa yang ingin kamu bela? Tentang kamu yang menipu saya dan keluarga saya? Sudah hampir dua tahun! Hampir dua tahun anda menipu kami! Membuat kami gelisah dan takut setiap hari!" Ucapan penuh penekanan disertai bentakan.

"Pergi! SAYA MINTA ANDA UNTUK-"

"OKE! ASAL KALIAN TAHU, LUNA GAK SALAH! YANG SALAH ITU KALIAN SEMUA DASAR SIALAN! HAHAHA" Mungkin tekanan ini membuat Aluna histeris.

NIDA ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang