Senyap

3.5K 450 106
                                    





Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





"Masuk kamu!" teriak wanita berumur kepala tiga keras, urat-urat di leher dan sisi dahinya menyembul. Dia menarik tangan anak sulungnya, meremat kulit lengan dengan kuku-kuku yang tajam. Anak itu berteriak tanpa suara, mulutnya bergerak namun tidak menyerukan kata.

Buk, tubuh ringkih itu dilempar, punggung dan kepala anak dengan kaos putih kebesaran terbentur dinding kamar mandi. "Siapa yang mengijinkanmu sekolah hah?" pekik sang ibu sembari mengambil jet shower closet, memasukkan kepala benda itu ke mulut anak sulungnya.

Ibu menekan tuas jet shower closet, air dingin dengan aliran deras memasukin tenggorokan anak itu. Dingin, perih, dan membuatnya tidak bisa mengambil napas. Mulut itu bergumam kecil, kedua bilah bibir pucatnya terus mengucapkan kata ibu walau tak mengeluarkan vokal.

"Aku tidak ingin mereka tahu kamu anakku! Aku malu mempunyai anak bisu!" Wanita itu semakin menekan benda itu, emosi membutakan matanya. Impian yang dia bangun seindah mungkin, hancur karena kelahiran seorang anak yang cacat

Anak laki-laki itu tak bergerak heboh seperti tadi, tenaganya menguap karena pasokan oksigen mulai menipis. Matanya hampir tertutup, tatapan sayu dan memohon yang dia lontarkan kepada sang ibu tidak menemui sosok iba.

"Lusi!" teriakan itu menghentikan gerakan sang ibu, jemarinya tak lagi menekan tuas. Wanita dengan gaun tidur basuh kuyup menolehkan kepala ke belakang, menatap nyalang suaminya yang membolakan mata ke arahnya.

"Apa yang kamu lakukan, Lusi? Membunuh anak ini dan menjebloskan diri sendiri ke jeruji besi? Sadar, Lusi, " lirih pria dengan nama kecil heru. Kedua tangannya menyambar bahu istrinya, mendorong tubuh Lusi untuk keluar dari kamar mandi mewah.

Kedua orang tua itu mencampakkan Yuta, membiarkan anak laki-laki berumur dua belas tahun tertidur di lantai dingin dengan kepala bersandar pada kloset. "Aku tidak mampu, " ucapnya untuk kesekian kali.

Sepasang netra kelam menatap Yuta dari balik pintu, tangannya sudah gatal ingin meraih jemari Yuta yang bergetar hebat. Namun, anak itu takut, bulu kuduknya meremang karena hati kecilnya selalu berkata sembunyi.

__-__

BUK!

Tubuh Yuta tersentak, suara pintu yang dibanting keras menjadikan dirinya keluar dari alam mimpi. Tanpa sadar Yuta langsung berdiri, lupa dengan luka lebam di punggung dan kepala yang berdenyut sakit saat tubuhnya dipakai bergerak. Anak itu meringis, dan lagi-lagi tanpa bunyi.

Menjadi bisu bukanlah permintaannya, saat terlahir tanpa suara pun anak itu juga bertanya-tanya kenapa. Ibu dan Ayah tak pernah menjelaskan kenapa Yuta bisa terlahir bisu, mereka hanya selalu mendaratkan sebuah makian, berteriak jika Yuta adalah manusia cacat, berseru jika Yuta hanya sebuah kesialan yang menimpa hidup sempurna mereka.

Yuta tak masalah kehilangan kata, tetapi jikalau kata diartikan kasih sayang keluarga, dia tidak ingin lagi menjadi bisu. Yuta tahu persis dia bukanlah manusia sempurna, bukan juga anak laki-laki pintar dan aktif seperti saudara kembarnya. Yuta mafhum semua alasan yang mendasari kebencian orang tuanya. Tetapi, apakah mereka harus membuat neraka khusus untuk Yuta di atas bumi ini?

Yuta keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamarnya perlahan, menyeret kedua kaki karena ternyata ada beberapa lebam juga disana. "Siapa yang membanting pintu?" tanyanya sembari menelisik ke arah pintu, tidak ada orang disana.

"Mungkin angin." Yuta menyambar seragam baru yang digantung dalam lemari, menyentuh kerah kemeja putih kaku. Anak laki-laki itu terkekeh sendiri, tersenyum kala memandangi pantulan diri dengan seragam sekolah menengah pertama miliknya.

Yuta baru saja lulus sekolah dasar. Hari ini, dia pertama kali memakai seragam biru putih. Yuta tidak sangka  bisa menjadi siswa di sekolah menengah pertama paling bagus satu kota, terpilih sebagai dua ratus orang yang lolos dari lima ribu pendaftar.

Setahu Yuta dia tidak pintar, malah bisa dikatakan golongan otak udang karena senantiasa menduduki peringkat akhirnya disetiap kelas. Terkadang Yuta heran kepada orang yang percaya dengan kalimat 'Jika kamu memiliki kekurangan, pasti memiliki kelebihan.'

Halah, itu semua dusta. Buktinya Yuta tidak mempunyai kelebihan satu pun, kekurangan saja yang bersama dirinya. Dengan teliti Yuta memasukkan beberapa buku tulis ke dalam tas biru lusuh, menarik ritsleting yang sedikit macet.

Yuta tidak mandi, kemarin malam dia sudah basah kuyup. Terlalu menyiksa jika Yuta terkena air sejuk pagi ini. "Pagi, Yuda, " sapa Yuta sembari melambaikan tangan pada kembarannya yang baru saja keluar kamar.

Kegiatan rutin Yuta setelah bangun dan mandi adalah menyapa Yuda, adik yang judesnya melebihi penjaga komplek mereka. Yuta tak pernah melewatkan acara sapa-menyapa bersama Yuda, selain karena kamar mereka yang bersebelahan. Yuta ingin sekali dekat dengan adiknya, bermain bersama seperti dulu.

"Gak usah sok akrab, " decih Yuda sembari menubruk bahu kakaknya, mendahului Yuta dan berjalan menuruni tangga menuju meja makan. "Pagi." Yuda menarik kursi, duduk disana seraya tersenyum tipis.

Ibu dan Ayah membalas sapaan Yuda dengan anggukan kepala, mereka kelewat sibuk dengan ponsel digenggaman, mengecek email dan berkas di pagi hari. Yuta menuruni tangga perlahan, belok kiri ke arah pintu keluar.

Yuta tidak diijinkan duduk di ruang makan, dia juga tidak pernah ikut makan bersama dan memilih menunggu Bibi mengantarkan makanan ke kamarnya. Tetapi pagi-pagi seperti ini Bibi pasti sibuk, tidak sempat menyiapkan piring untuk Yuta. Tak apa, dia sudah terbiasa beraktifitas dengan perut kosong.

Kemarahan Ibu tadi malam dikarenakan Yuta lolos tes masuk sekolah. Ibu tidak ingin Yuta bersekolah, dia malu jika orang-orang mengetahui dia memiliki anak bisu. Kemarahannya semakin diperkeruh dengan kenyataan jika sekolah yang menerima anaknya adalah SMPN Karigula, sekolah terpadang yang berisi anak-anak pejabat. Sudah pasti jika anak dari rekan kerja Lusi dan Heru ada disana.

SMPN Karigula, sekolah menengah pertama seperti pada umumnya. Tempat belajar, menambah teman, atau menyalurkan bakat dan hobi. Namun, disana berisi orang-orang kaya yang congkak, menghakimi manusia yang mereka anggap rendah adalah tugas wajib.

Yuta takut, tentu saja. Tapi ini adalah satu-satunya kesempatan untuk bisa bersekolah tanpa perlu meminta uang kepada orang tuanya. SMPN Karigula adalah sekolah gratis, menerima semua dari berbagai kalangan. Entah sejak kapan sekolah itu menjadi tempat anak-anak kaya, mungkin karena popularitas yang tinggi menjadikanya sebagai standar bagi mereka.

Anak laki-laki itu menggeleng kepala, membuyarkan lamunan sembari terus berjalan keluar komplek untuk menaiki angkutan umum.

"Guru harus mempunyai jiwa pemimpin, setidaknya Yuta harus mencoba menjadi seorang ketua kelas."























Book baru yang meresahkan
Ini kali pertama saya buat cerita tema keluarga
Semoga perasaannya tersampaikan

Yuda | YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang