Makan Dalam Angkot

1.3K 277 84
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Yuta lagi-lagi terbangun dalam keadaan tidak layak, terdampar di antara semak-semak kebun rumah Keluarga Hanan. Anak laki-laki itu meringis, sekujur tubuhnya perih karena ranting tajam menggores kulit bagian lengan dan kaki.

Yuta bangkit, mendudukkan diri sebentar karena tak sanggup untuk berdiri. Matanya melihat ke atas, bertabrakan dengan langit biru bercampur warna ungu. "Syukurlah, aku belum telat sekolah, " gumamnya dalam hati.

Dengan susah payah Yuta berdiri, namun saat sudah pada sikap sempurna dirinya kembali terjatuh, kepalanya menyapa batang pohon rambutan. "Aduh!" ringisnya sembari mengusap kepala, sudah bonyok sekarang malah benjol.

Punggung Yuta bersandar pada batang pohon, memejamkan mata sembari merasakan sakit yang disebabkan oleh lebam dan luka. "Tuhan sebaik itu pada Yuta, memberikan kehidupan dan kesempatan untuk hidup sampai sekarang. Tapi mengapa ciptaannya tidak membiarkan Yuta bahagia?"

Selepas pulang sekolah kemarin Pak Bahari mengajak Yuta jalan-jalan, katanya ingin memberi hadiah atas keberhasilan anak itu karena sudah masuk ke sekolah terbaik satu kota. Angkutan yang dibawa Pak Bahari mengelilingi kota, menyelusuri jalanan dan jembatan.

"Kamu pernah makan seblak gak?" tanya Pak Bahari, matanya masih terus menatap lurus jalan. Yuta menggeleng kepala, tangannya juga melambai-lambai untuk mengisyaratkan tidak. Pak Bahari yang melihat jawaban Yuta dari spion dalam angkot mengangguk.

Sejak jaman anak itu masih SD, dia tidak pernah diberi uang jajan ataupun bekal oleh orang tuanya. Bagaimana bisa Yuta membeli makanan jika tak punya kertas bernominal, yang ada penjual basreng marah-marah, atau mungkin Yuta bisa disemprot bubuk cabe sama pedagang cilok.

Hanya sesekali Yuta membeli makanan di kantin, itu pun kalau Pak Bahari atau Bibi memberinya uang saku. Lagipula Yuta lebih senang menabung daripada jajan, jadi kalau ada kegiatan sekolah yang membutuhkan uang dia punya simpanan.

Sekolah Yuta bukan orang tuanya yang bayar. Uang buku, uang saku, uang seragam, uang study tour, itu semua Bibi dan Pak Baharilah yang menanggung. Bibi pembantu di rumah sudah sering kali di omeli oleh Ibu, namun memang dasarnya Ibu dan Ayah tidak peduli, mereka membiarkan Bibi melakukan itu dengan syarat tidak menganggu harta mereka.

Bibi hanya membiayai Yuta dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar kelas dua, selanjutnya hingga saat ini Pak Bahari yang membayar. Ini dikarenakan Bibi telah memiliki cucu yang harus dibiayai, dan terlebih lagi Bibi sering dipotong gaji.

"Ini namanya seblak, Yut. Kamu sebagai anak orang Bandung kudu coba, " ucap Pak Bahari sembari menyodorkan mangkuk sterofom berisi seblak kepada Yuta.

Bocah itu meringis, seblak yang baru matang membuat mangkuk sterofom itu seperti setrika menyala. "Panas!" Yuta hampir menumpah seblak ke dashboard angkot, untung saja Pak Bahari dengan cepat mengambil mangkuk itu.

"Aduh! Maafin Bapak, Yut." Pak Bahari mencondongkan tubuhnya sedikit, meniup-niup telapak tangan Yuta yang sedikit memerah. "Kamu ambil baju Bapak di laci dashboard, bersih itu. Taruh di tangan biar gak panas, " perintah Pak Bahari.

Yuta mengambil kaos biru luntur dari laci dashboard, melipatnya menjadi lebih kecil dan ditaruh di telapak tangan. Pak Bahari kembali menyerahkan mangkuk sterofom, mengipas-ipas seblak dengan tangan.

"Udah agak hangat, sok dilebok."

Yuta menyendok seblak dengan sendok plastik, memasukkannya kedalam mulut. Sedangkan Pak Bahari masih terdiam, menatap anaknya yang sedang mengernyit bingung dengan rasa di dalam mulutnya. "Enak teu?" tanya Pak Bahari penasaran.

Kepala anak itu mengangguk semangat, rambut tebalnya ikut bergerak naik turun. Pak Bahari yang gemas mengusap surai gelap Yuta, tersenyum simpul. "Nah ini baru anak Bapak!"

Yuta sampai di rumah sore hari, Ibu dan Ayah belum pulang. Dia naik ke atas, masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan diri di atas kasur. Perutnya penuh, mengantuk di waktu bersamaan. Pak Bahari tidak hanya membeli seblak, tetapi ada cilok, telur gulung, cireng, dan ditutup dengan mie ayam sepuluh ribu.

"Mumpung Bapak ada duit lebih, Yut. Kan biasanya buat bayar spp kamu."

__-__

Yuta tertidur pulas, hingga Ibu melemparkan tas jinjing bermerek ke atas wajah anak itu. "Bangun kamu!" teriak Ibu sembari menyambar lengan Yuta, menyeret tubuh kecil itu ke kebun depan rumah.

Mata Yuta membola sempurna saat melihat sosok Ayah bersandar pada pohon, membelakanginya. Tangan kanan Ayah mengayunkan tongkat baseball pelan, membuat Yuta meneguk ludahnya kasar. "Ini!" pekik Ibu sembari mendorong bahu Yuta hingga tersungkur di atas tanah gembur.

Ayah membalikkan badan, wajah dingin dan tatapan membunuh di bawah sinar bulan terlihat sangat menyeramkan. Seolah-oalah Ayah adalah seekor serigala, dan Yuta hanya kelinci kecil yang siap disantap.

"Kau tahu? Semua rekan kerja saya di rapat tadi sore membahas tentang kamu yang menjadi murid cacat pertama di sekolah sebagus itu! Dasar anak sialan!" Pria itu berjalan menghampiri Yuta, mengayunkan tongkat baseball keras.

Tubuh Yuta bergeser ke kanan, pukulan yang mengenai bahu kanan membuat dirinya oleng kehilangan keseimbangan. "Cukup, " teriak Yuta histeris, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Ayah kembali mengayunkan benda itu, memukul tubuh Yuta membabi buta.

"Ayah! Ayah! Ayah!" Yuta berusaha teriak, tenggorokannya sakit karena terlalu memaksa.  "Ayah, jangan pukul Yuta! Yuta juga anak, Ayah. Jangan pukul, " isaknya bersamaan dengan pukulan selanjutnya.

Wajah Yuta sudah basah dengan air mata, darah yang keluar dari luka lengan atas dan paha tidak membuat Ayah iba. Ibu hanya memandang datar, sesekali giginya bergemeletuk marah karena wajah sakit Yuta sangat memuakkan.

"Ibu, tolong Yuta, " lirihnya pelan saat pria itu menyeret Yuta ke tumpukan semak-semak, meninggalkan Yuta di tengah malam dingin bersama bintang dan bulan. "Yuta gak pernah minta jadi seperti ini, Ayah."

Jemari kurus itu mengusap pipi, menyapu air mata yang jatuh karena kejadian tadi malam. Tanpa sadar matahari semakin tinggi, Yuta melirik jam tangan retak yang melingkar di pergelangan tangan. Jarum panjang menunjuk angkat tujuh, masih ada sisa setengah jam sebelum bel masuk sekolah.

Yuta masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang, menaiki tangga dengan tertatih. Tangannya menekan engsel pintu, mendorong pelan dan menyeret kakinya masuk. Segera Yuta manyambar handuk, pergi ke kamar mandi.

Trash

Suara air shower berjatuhan diiringi rintih tanpa vokal, mata Yuta semakin menyipit kala luka-luka itu bersentuhan dengan busa sabun. "Tolong, tolong kembalikan bahagia yang belum pernah Yuta miliki."

Yuta tidak bisa berlama-lama, dia harus cepat karena takut Pak Bahari menunggu lama. Anak itu sudah menyisir rambutnya rapih, memakai seragam yang sedikit kusut karena lupa disetrika. Kepalanya menoleh ke arah meja belajar, dahinya mengernyit saat melihat tasnya lebih gembung dari kemarin.

"Apa Bibi menyiapkan tasku lagi?"

Ah... itu tidak penting, lebih baik berpikirnya nanti saja saat sudah di dalam angkutan umum. Yuta meraih tas itu, memakainya dan keluar rumah melewati pintu belakang. Anak itu berlari cepat sembari meringis, luka di kakinya sepertinya kembali terbuka karena bergerak terlalu aktif.

Yuta akhirnya bisa duduk dengan tenang di aula sekolah tepat pada jam 08.30. Namun, tiba-tiba perut Yuta sakit. Tanpa meminta ijin, Yuta lari terbirit-birit menuju toilet terdekat. Dan sialnya, anak itu kembali bertemu dengan Jum'at dan Sabah.












Saya gak tahu ini nge-feel atau enggak
Semoga kalian suka

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now