Hadiah Ulang Tahun

1K 183 47
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Langkah kecil berlari cepat, menuruni anak tangga dan kembali berjalan cepat menuju ruang tamu yang disulap menjadi istana buatan. Banyak replika benteng menempel pada dinding, ada balon hitam putih di langit-langit, dan jangan lupakan hiasan lain yang membuat ruangan itu benar-benar mirip dengan istana di film.

Anak laki-laki yang hari ini genap berumur sepuluh tahun semakin semangat saat melihat Bibi membawa kue ulang tahun empat tingkat dengan troli. Dia melompat riang, bertepuk tangan ribut hingga Bibi tertawa gemas.

"Ini buat Yuda kan, Bi?" tanyanya sembari berlari mendekati Bibi.

"Iya, Tuan Yuda. Nanti malam kita tiup lilin ya? Tuan Yuda lebih baik mandi dan ganti pakaian, sudah bibi siapkan di atas kasur."

Dengan cepat Yuda kembali menaiki anak tangga, menuju kamar dan menutup pintu dengan keras saking senangnya. Namanya juga anak-anak, ulang tahun adalah hari paling ditunggu di tiap tahunnya, begitu juga dengan Yuda. Dan begitu pun dengan Yuta.

Bertambah umur adalah hal paling membahagiakan bagi orang di bumi, namun Yuta malah mendapat hal buruk di satu hari sebelum hari kelahirannya yang ke sepuluh tahun.

Kemarin, tepat jam dua belas siang. Semua wali murid datang ke sekolah, mengambil rapor. Wanita dengan gelar orangtua si kembar merelakan rapat hanya untuk mengambil buku nilai itu, sebenarnya dia ingin sekali menyuruh Bibi. Tapi, dia tidak ingin Yuda merajuk dan merusak pesta esok hari.

"Ini rapor Yuda, Bu." Perempuan muda menyodorkan buku tebal bersampul merah dan membukanya. "Yuda sangat pintar di kelas, dia aktif dan ceria. Yuda juga mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata pelajaran dan berhasil menjadi ranking satu."

Lusi tersenyum puas, Yuda Al-hanan memang benar-benar anaknya, anak kebanggaannya.

"Dan untuk rapor Yuta, jadi begini, -"

Ucapan Bu Ren terpotong oleh deham dari Lusi, wanita yang tadi tersenyum lebar itu tiba-tiba saja memutar bola matanya malas dan menampilkan wajah datar. Bu Ren sampai-sampai mengigit bibir karena dia tahu jikalau orang tua Yuta tidak punya hubungan baik dengan anak muridnya itu.

"Bisa kirim dokumen rapornya lewat email saja, saya masih ada urusan lain. Permisi, " ucapnya sembari berdiri dan berjalan keluar kelas dengan wajah kesal.

Sungguh. Lusi merelakan rapatnya untuk mendapatkan kabar baik, menghibur diri, atau setidaknya ada yang membuatnya tersenyum seperti nilai sempurna Yuda. Bukan untuk mendengarkan berita kekurangan anak sulungnya, bukan juga untuk menerima rapor anak asing itu.

Lusi meremat surainya, memukul stir mobil kala membaca rentetan nilai merah Yuta. "Anak sialan! Sudah dipukuli tiap malam, tetap saja tidak berubah! Bajingan, bedebah, brengsek!"

Semua umpatan keluar begitu saja, hatinya benar-benar sesak hingga rasa-rasa akan meledak sekarang.

"Aku sudah mengabulkan segalanya, membawanya pulang ke rumah walau dia bisu. Aku bahkan merelakan cita-cita yang aku usahakan hingga rela mengorbankan masa mudaku. Dan anak itu! Bajingan itu tidak tahu terimakasih!"

Mobil hitam dengan plat mengkilap melaju cepat, masuk ke dalam garasi dengan terburu-buru. Wanita itu keluar rusuh, dia berjalan menghentak-entakan kaki menuju kamar Yuta. Kamar yang dulunya nyaman namun direnggut paksa karena anak itu tidak lagi dia anggap.

"Yuta!"

Lusi melempar ponselnya ke arah wajah Yuta, mengenal dahi anak itu dan menghasilkan ringis serta darah segar yang mengalir membanjiri pipi.

"Anak sialan! Bagaimana bisa kamu selalu mendapat rangking terakhir tiga tahun berturut-turut? Apa kamu tidak belajar, tidak dengar kata saya! Apa selain bisu, kamu juga tuli? Hah!"

Wanita itu meremas surai tebal Yuta hingga anak itu mengernyit sakit. Kulit kepalanya panas, seperti semua rambutnya akan tercabut dari akar. Tangan Lusi menyambar buku cetak yang berada di meja belajar kecil anak sulungnya, menggulung benda itu dan memukul Yuta membabi buta sembari berteriak keras.

"Anak bodoh! Tak tahu untung! Sialan, aku berharap kamu mati dan tak pernah lahir dari rahimku!"

Yuta menangis sejadi-jadinya, air mata berlomba-lomba jatuh hanya karena perkataan sang Ibu. Sungguh perkataan dari lisan wanita itu lebih sakit daripada pukulan yang berhasil menghasilkan biru keunguan di lengan dan pipinya. Sakit, sakit sekali.

"Maaf, Ibu. Maaf Yuta bodoh, " ucapnya tanpa suara sembari mencoba menghalau ayunan tangan Ibu dan berusaha memeluk wanita itu. "Maaf karena tidak mati, maaf karena lahir dari rahim, Ibu, " rintihnya seraya memeluk pinggang Ibu.

Lusi mencubit kuat lengan yang melingkar di pinggangnya, namun Yuta tak kunjung melepaskan pelukan. Makin erat dan membuat blouse biru muda yang dikenakan Lusi basah oleh tangisan. Wanita itu terdiam sebentar, mengusap kasar wajahnya. Dia tahu dia telah melakukan hal keji, dia paham jika perbuatannya dosa dan sia-sia.

"Sungguh. Saya benci dirimu, Yuta. Demi Tuhan, saya menyesal melahirkanmu, " ujarnya dengan dada sesak, suaranya putus-putus.

Mira menepis lengan Yuta, berjalan meninggalkan anak sulungnya yang sekarang terduduk di lantai.

"Ibu, maafkan Yuta."

Setelah siang itu, Yuta mendapat banyak plester di tubuhnya. Di dahi, di lengan, di pipi, juga di sudut mata dan dagu. Dia berjalan turun, bersembunyi dibalik tiang dan menatap nanar Yuda yang tengah meniup lilin sembari disambut tepuk tangan para rekan kerja orang tuanya dan teman-teman sekelas.

"Yuda sangat lucu, lihat pipinya penuh krim, " kekehnya sembari mengusap sudut mata yang mulai berair. "Kenapa aku menangis? Padahal Yuda sedang tertawa disana."

Bibi yang melihat Yuta bersembunyi di balik tiang menghampiri anak itu, menyentuh bahu rapuh Yuta. "Selamat ulang tahun jagoan Bibi, " ucapnya sembari mengangkat piring berisi sepotong kue coklat dengan lilin menyala.

Mata Yuta berbinar, entah karena tangis atau senang. "Terimakasih, Bibi. Dan semoga tahun ini Ibu Ayah berhasil menyayangiku, " doanya sembari meniup lilin.

"Ayo makan di taman belakang, ada seseorang yang menunggu Yuta disana." Bibi menarik lengan anak majikannya pelan, menuntun Yuta ke taman belakang.

Mulut anak yang kini genap sepuluh tahun terbuka lebar, kedua netranya terbelakak saat melihat badut kucing yang memegang balon warna merah.

"Bibi, ada badut!" pekiknya. Dia berlari menabrak tubuh badut, memeluk erat sembari tersenyum lucu.

"Aduh, Yuta... Jangan goyang-goyang atuh, kepala Bapak jadi lieur ini, " protes Pak Bahari yang tak disangka-sangka adalah badut sewaan dadakan.

Setidaknya Yuta meniup lilin, setidaknya ada kado berupa badut. Setidaknya malam ini dia libur dari pekerjaannya sebagai samsak Ayah dan Ibu.






















Kalian dapat hadiah apa tahun ini?

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now